Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Curhatan Bakul Sego, Agus Supatma

Saya merasa senang ketika suatu saat bisa menjalani usaha yang semacam ini. Bagaimana tidak, penjual makanan yang satu ini selalu dicari dan dinanti, apalagi ditunjang dengan cara masak yang pas akan membuat makanan semakin terkenal dan tentu semakin laris ditambah dengan harga yang murah. Membayangkan memang tak semudah menjalani. Yang saya ingat ketika Ibu saya jadi penjual nasi disaat saya masih TK—makanan yang dijual selalu laris dan habis, barangkali rasa inilah yang membuat makanan semacam nasi pecel cepat habis, tetapi sayangnya periode jualan ini hanya sebentar saja karena terdampak dari goyang ngebor krisis moneter. Akhirnya yang namanya pasar di dusun juga hilang, bersamaan dengan kelimpungannya para bakul ataupun orang yang melakukan transaksi adol tinuku polowijo dan sejenisnya. Ya memang sejenis pasar di dusun atau dukuh itukan kayak pasar krempyeng itu jadi tiap hari hampir-hampir ada pasar baru. Tiap muncul pasar, yang lain mesti mati
Kembali pada bakul sego, kemarin pas saya dan kawan saya mau beli sambel terong Rp 5000 saja katanya si mak e yang jualan nasi itu, la iki mengko pie lo le nek oleh e saitik, lak yo g cukup kok gae maem karo koncomu. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak membeli sambel tersebut. dalam hati sambil bergumam “iki mesti gara-gara harga cabai yang semakin mahal merajalela iku kale ya”. Ternyata si mak e yang penjual nasi itu juga bilang bahwa harga lombok dan sejenisnya sedang berada di galaxy hingga mata saja tak mampu menjangkau untuk melihat. Melihat saja sudah tidak mampu, apalagi membeli. Sepertinya pedasnya harga cabai kali ini merupakan akumulasi dari kumpulan cabai, pala dan merica yang menumpuk jadi satu. Akhirnya saat itu saya putuskan untuk membeli sayur dan lauk dengan tema kedelai (sayur tahu, kering tempe dan tempe goreng). Meskipun berhari-hari hampir-hampir makan yang seperti ini tapi juga kagak bosan memakannya. Sambil bergumam, yah inilah rizky bagi jomblo yang belum dapat tukang masak, makanannya selalu sederhana. Sesederhana isi dompetnya. Alhamdulillah aku dan temanku bisa makan.
Selesai makan selalu kuamati berita ataupun info yang berseliweran di media sosial yang kesemuanya berkaitan dengan kenaikan tarif pajak ataupun yang lainnya. Di media sosial memang pro dan kontra itu memang hal yang sangat wajar. La kita ini sama saudara sekandung saja beda prinsip, apalagi di hutan rimba media sosial. Memang ini sepertinya kado terindah di tahun ini, la bagaimana tidak demikian—la naiknya bareng-bareng dan janjian kayak anak muda yang sedang kasmaran itu. Yang membuat saya pengen ketawa kepingkel-pingkel adalah sebuah meme dari teman saya yang meng-capture gambar dari para pemimpin yang berdebat mengenai siapa yang memiliki kewenangan untuk menaikan segala macam tarif ataupun kebutuhan pokok lain, dalam meme tersebut saling melempar pendapat masing. Dan pada akhirnya yang mengambil kebijakan adalah kanjeng Dimas Wasis yang akan menggandakan uang untuk diberikan pada rakyat. Pada akhirnya genderuwo pun juga mengakui bahwa ia telah salah.
Setelah beberapa hari di tahun baru berlalu—berita kenaikan berbagai macam kebutuhan ini menjadi head line, berkali-kali para tokoh masyarakat, akademisi, praktisi dan para pedagang ikut berlomba dalam menyampaikan gagasannya di talk show beberapa media elektronik ataupun ada juga yang membuat analisa di media cetak. Dan hasilnya juga sama mereka juga tidak ketemu kata sepakat. Lah yang terakhir tentu yang merasakan jeritan rakyat ini adalah mahasiswa. Selain menjadi agent of change, mahasiswa merupakan golongan kaum tertindas ataupun kaum marjinal dari praktik kenaikan semua harga yang katanya dilakukan oleh kalangan borjuasi itu. Minimal mereka bisa mensiasati itu semua dengan cara hidup berprinsip pada iritologi. Langkah yang terakhir dilakukan sebagai kaum intelektual tentu dengan melancarkan sebuah aksi demosntrasi berkaitan dengan dampak yang dirasakan dari kebijakan tersebut. Tentu mereka ini selain berangkat dari nurani dan niat yang lurus—juga mengingat pesan-pesan Wiji Thukul yang mengajak untuk melawan setiap kebijakan yang menindas dan sewenang-wenang. Memang aksi ini cukup unik, yakni dengan menggunakan simbol angka 121 sebagaimana aksi-aksi yang sebelumnya yang dilakukan oleh ummat Islam.
Belum selesai kenaikan ternyata sudah disusul oleh kebutuhan pokok yang lain, kabarnya harga gas elpiji yang 3 Kg itu juga akan meledak tinggi, barangkali ledakan ini juga mirip dengan banyaknya ledakan saat elpiji 3 Kg ini diluncurkan. Lah kalau sudah begini apa yang bakalan diharapkan oleh rakyat yang kecil, termasuk para pedagang sego dan angkringan. Kalau begini kan juga sulit untuk membuka usaha sego tersebut. kadang-kadang saya berpikir, apasih maunya pemerintah itu kok segala macam kebutuhan hidup naik. Trus nanti biaya pernikahan mesti juga naik, tambah pusing jadinya kalau begini. Mungkin yang paling untung adalah orang desa yang masih pakai kayu bakar, tapi kesulitannya kalau musim hujan begini ya tetep sulit, bahkan kayunya tidak mau menyala—layaknya motor yang sedang mblebeg. Toh akhirnya terpaksa pakai gas melon yang 3 Kg itu mesti harganya tinggi. Terus kalau sebagai orang kota kira-kira bagaimana ya. Mungkin perasaannya juga sama, utamanya yang kelas menengah kebawah. Masayarakat kota yang berada dalam kelas tersebut juga sedang galau, segalau orang yang ditinggal nikah duluan oleh calon pasangan hidupnya. Lha gimana ndak galau, mau pakai kayau atau anglo nanti dikira tidak go green selalin itu kebul-nya juga mengganggu tetangga sebelah. Mau pakai minyak tanah juga susah mencarinya, sesusah orang yang dipilihkan jodoh yang tidak yang tak kunjung cocok. Mau pakai kompor listrik mesti Watt-nya gede, lagipula kan mau naik tarifnya, mau membeli terus-terusan juga pemborosan, dan tentu ini jika boros merupakan temanya setan.
Kabar terbaru yang bakalan bikin rakyat terkena penyakit sawan adalah rencana dialihkannya elpiji yang 3 Kg ke gas yang warna pink itu. Elpiji tersebut rencananya hanya akan diperuntukan bagi warga miskin dan dan UMKM dan yang mendapat gas ini hanya keluarga yang memiliki kartu dari Kemensos yang dapat membeli gas bersubsidi ini. tapi pertinyaannya, apakah pemerintah sudah membuat kajian yang mendalam mengenai hal ini, lagipula kan sering terjadi yang namanya penyelewengan. Saya masih terheran-heran dengan pemerintah, sebenarnya apa maunya mereka itu. La dulu mereka menyarankan untuk berganti dari mitan ke elpiji agar ramah lingkungan, la sekarang beralih lagi dari elpiji ke gas pink tersebut, yang notabene harganya lebih mahal ketimbang gas yang 3 Kg itu. Menurut situs salah satu kementrian harga gas pink ini sudah ditetapkan. Harga untuk 5, 5 Kg gas pink ini berkisar Rp. 61.500, dan Rp. 317.500 jika ditambah dengan tabungnya. Jika ini harga sandart dari pemerintah maka tentu akan lebih mahal lagi jika belinya di toko ataupun minimarket. Dan justru harga gas pink ini lebih mahal, apakah harga ini ramah untuk dompet—silakan dipikir sendiri.
Kalau sudah begini bagaimana nasib orang-orang yang kecil, orang yang belum jelas statut kaya--miskinnya yang terkadang juga tidak dapat mendapatkan kartu tersebut, mesti tambah sengsara. Nampaknya semua rumah tangga dan juga para penjual makanan sedang melakukan iritologi agar apa yang digunakan semua bermanfaat dan tidak mubazir. Mak e penjual sego itu selalu sambat bahwasannya ia juga sedang galau, mau dinaikkan takut tidak laku, kalau tidak dinaikkan kok ya makan hati, apalagi melihat anak kost yang suka beli sedikit tapi minta banyak itu. Pemerintah ini mbok ya buat kebijakan yang pro rakyat—la ini malah bikin rakyat sengasara, semuanya dinaikan bebarengan tapi di sisi lain tidak dibarengi dengan pembangunan yang baik, serta birokrasi yang masih tetap saja ruwet dan rumit dan nampak acak-adut. Kalau mau menaikkan mbok ya bikin kajian yang mendalam, jangan grusa-grusu. Sementara lapangan kerja juga tidak ditambah, toh pada akhirnya rakyat yang memilih anda yang sengsara. Kurang lebih rakyat saat ini semakin deg-deg ser atau ponthang-panthing saja jika mengamat perkembangan pasar yang harganya kian tak menentu.
Sepertinya di saat kondisi yang kian tak menentu ini ada baiknya kembali merefleksikan nasihat dari Ibn Khaldun—mengenai tanda-tanda keruntuhan suatu bangsa, di antaranya :

1) Rusaknya moralitas penguasa,
2) Penindasan penguasa dan ketidakadilan,
3) Depotisme atau kezaliman,
4) Orientasi kemewahan masyarakat,
5) Egoisme,
6) Oportunisme,
7) Penarikan pajak secara berlebihan,
8) Keikutsertaan penguasa dalam kegiatan ekonomi rakyat,
9) Rendahnya komitmen masyarakat terhadap agama dam,
10) Penggunaan pena dan pedang yang tidak tepat.
Jika tidak ingin kejadian yang semacam ini tentu pemerintah harus segera memperbaiki diri disertai dengan penataan rakyatnya. Apa perlu kami buat berita pengalihan isu ataupun isu sara mengenai harga kebutuhan pokok ini agar semuanya menjadi wajar dan bisa dijangkau semua elemen. ???.

Posting Komentar untuk "Curhatan Bakul Sego, Agus Supatma"