Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jangka Jayabaya: Antara Karya Sunan Giri III dan Prabu Jayabaya

Oleh: Suhanto
Ramalan atau Jangka Jayabaya begitu bertuah dan termahsyur bagi kalangan orang Jawa. Orang Jawa dengan sisa kepercayaan animisme dan dinamisme yang kental dengan klenik dan ramalan belum  terpisah dengan kehidupan sehari-sehari. Banyak cara klenik atau ramalan yang digunakan untuk melihat masa depan, kejadian-kejadian, fenomena alam, jodoh, penguasa, bahkan kematianpun di ramalkan. Dan salah satu kiblat agung ramalan orang  Jawa adalah Jangka Jayabaya. Salah satu ramalan Jangka Jayabaya yang termahyur adalah ramalan nusantara (sebelum kemerdekaan) dan penguasanya.  Dan konon katanya ramalan tersebut sesuai sejarah Indonesia. Sebagai contoh ramalan tentang penjajahan jepang yang berlangsung selama tiga sengah tahun. Ramalan tersebut berbunyi: “ Tanah Jawa bakal dikuwasani dening Ratu Kuning, sajroning tempo lawase saumure jagung, banjur bali marang kang duwe”. ( Tanah Jawa akan dikuasai oleh Ratu Kuning lamanya seumuran jagung, kemudian setelah itu kembali dikuasai lagi oleh yang empunya). Ramalan semacam ini yang menjadikan Jangka Jayabaya membumi.

Menarik untuk di kupas dan di telaah Jangka Jayabaya ini. Apakah benar Jangka Jayabaya ini karya asli Prabu Jayabaya raja Kediri yang terkenal ? atau karya orang lain yang di beri “cap” Jangka Jayabaya? Apa latar belakang sampai demikian itu ? adakah peran islam dalam Jangka Jayabaya?.Kebenaran Jangka Jayabaya yang dianggap sebagai karya agung Prabu Jayabaya dapat dilacak dan dibuktikan kebenarannya melalui, pertama, kitab induk ( karena banyak versi) Jangka Jayabaya yang ditulis oleh beberapa pujangga. Kedua, Sejarah Prabu Jayabaya pada masa memerintah Kerajaan Kediri. Ketiga, jenis bahasa  jawa yang digunakan dalam penulisan kitab Jangka Jayabaya. Dari ketiga kriteria ini, asal usul Jangka Jayabaya dapat dilacak.

Prabu Jayabaya adalah raja Kerajaan Kediri yang memerintah pada tahun 1135-1157 M. pada zaman Prabu Jayabaya hiduplah Empu Sedah yang ditugasi menggubah Kitab Kakawin Bharatayuddha. Sebelum selesai Empu Sedah meninggal kemudian dilanjutkan Empu Panuluh juga menggubah kitab Gatutkacasraya, dan Hariwangsa. Dalam catatan sejarah kitab Jangka Jayabaya tidak tercantum sebagai peninggalan Sastra Kerajaan Kediri karena sampai saat ini pun tidak pernah ditemukan buktinya. Bahasa yang digunakan pada masa itu adalah bahasa Jawa Kuno.

Kitab Jangka Jayabaya yang beredar dan tersebar di masyarakat lebih dari sepuluh.  Kitab yang menjadi sumber pertama yang dijadikan rujukan, sumber inspirasi, bahan kutipan, adalah kitab “ASRAR” karya Sunan Giri ke-3. Ditulis pada tahun 1618 M. Dan “ Kitab Jangka Jayabaya”, karya Pangeran Wijil I sebutan Pangeran Kadilangu II dari Demak.  Dua kitab ini lah yang menjadi rujukan penulisan kitab Jangka Jayabaya selanjutnya. Beberapa versi kitab Jangka Jayabaya antara lain, Kitab Muasarar, Kitab Jangka Ratu, kitab Jayabaya, Kitab Musarar lambang Raja, Kitab Musarar Jayabaya, Kitab Musarar Syeh Subakir,  Jangka Jayabaya karya R. Ng. Ranggawarsita, dan Kitab Musarar ki Tuwanggana.  (Hasyim Umar, 1983: 12). Dan dari sekian versi ini yang paling banyak adalah gubahan R. Ng. Ranggawarsita berjumlah Sembilan. R. Ng. Ranggawarsita (15-03-1802 sampai 24-12-1873) adalah pujangga Kraton Surakarta yang terkenal. cicit dari R. Ng. Yasadipura I, dan cucu R. Ng. Yasadipura II yang juga merupakan pujangga masyhur.

Melihat jaman hidup Prabu Jayabaya pada abad ke-11 masehi, maka hasil karya sastra yang dihasilkan pada zaman itu bukanlah ditulis dengan bahasa Jawa tengahan, tetapi dengan bahasa Jawa kawi atau bahasa Jawa Kuno.  Padahal kitab Jangka Jayabaya yang ditemukan dan yang ada sekarang menggunkan bahasa Jawa Tengahan, bahasa Jawa yang digunakan pada abad ke-14 hingga abad ke-18.   Sebagaimana dijelaskan diatas, kitab “ ASRAR” digubah oleh Sunan Giri III dan pangeran Wijil 1 dari Kadilangu dengan kitab Jangka Jayabayanya. kitab “ ASRAR” di gubah Sunan Giri sebagai renungan akan hal-hal yang dipandang bisa membahayakan bangsa Jawa dan Nusantara dan berkehendak agar terhindar dari bahaya dengan jalan mengingatkan penguasa kepada jalan yang benar. Dalam kitab ini Sunan Giri mengingatkan kepada Sultan Agung  Mataram agar mengurungkan niatnya menundukkan semua Bupati dan Adipati di tanah Jawa karena menyebabkan Hura-Hura. Karena musuh sebenarnya dari asing, yakni kekuasan VOC yang menginjakkan kakinya di Batavia dengan monopoli perdagangan dan salah satu misinya kristenisasi.  

Sedangkan dalam kitab Jangka Jayabayanya karya Pangeran Wijil 1 dari Kadilangu (Pangeran Kadilangu II) terselip maksud untuk menghilangkan saling curiga-mencurigai. yang menyebabkan peperangan dengan Kerajaan Mataram.
Sebagai sumber utama, kedua kitab diatas dapat dihitung selisih masa atau jarak antara Prabu Jayabaya dengan masa kanjeng Sunan Giri Perapen dan dengan pangeran Wijil I:
1. Selisih masa antara Pangeran Wijil I (1741) dan Sunan Giri Perapen (1613) adalah 128 tahun.
2. Selisih masa antara Pangeran Wijil I (1741) dan pemerintahan PrabuJayabaya (1135-1157) adalah lebih 600 tahun.
3. Selisih masa Sunan Giri Perapen (1613) dan pemerintahan Prabu Jayabaya (1135-1157) adalah 460 tahun.

Dengan memperhatikan selisih jarak hidup ketiga tokoh tersebut dan para penggubah  setelah Pangeran Wijil I jelas jauh sekali masanya. Maka antara kitab JANGKA JAYABAYA DAN SANG PRABU JAYABAYA TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA.
Dari peninjauan ketiga aspek di atas maka terbukalah bahwa sebenarnya apa yang disebut dengan ramalan Jangka Jayabaya itu diragukan hasil karya Prabu Jayabaya. Orang-orang yang menggubah atau membuat kitab ramalan Jayabaya itu, “ meminjam kewibawaan dan kemasyuran pribadi Prabu Jayabaya” untuk ditempelkan pada kitab gubahannya, agar orang tertarik, meningkatkan popularitas dan menarik konsumen. Kemungkinan juga ini sebagai penghilang jejak penulis atas kritik terhadap penguasa.

Untuk menguatkan persepsi bahwa ramalan Jangka Jayabaya itu diragukan hasil karya Prabu Jayabaya akan penulis kutipkan beberapa tulisan yang konon “karya Prabu Jayabaya” terlihat jelas dari bahasa penulisan sastra yaitu era Bahasa Jawa Tengahan:
“akeh udan salah mangsa, akeh prawan tua, akeh randa nglairake anak, akeh jabang bayi lahir nggoleki bapake.” Artinya banyak hujan turun bukan pada musimnya, banyak perawan tua yang terlambat menikah karena terlalu memilih-milih pasangan dan juga mementingkan karier. Banyak janda melahirkan anak (akibat hubungan bebas) dan banyak yang lahir mencari siapa ayahnya.
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa.
Kali ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
Pasar ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan Jangka Jayabaya bukanlah karya sastra Prabu Jayabaya Raja Kediri. Rujukan induk Jangka Jayabaya adalah kitab-kitab “ ASRAR” digubah oleh Sunan Giri III dan pangeran Wijil 1 dari Kadilangu dengan kitab Jangka Jayabayanya. Ramalan-ramalan itu muncul dari keinginan, pemikiran, dari pengarang sesudah beliau berdua. kitab “ ASRAR” yang islami tak pernah terkuak petuahnya. Dibungkus dengan kemasyhuran ramalan Jayabayanya, bisa dikatakan ini bentuk nativisasi. 
*Anggota Corp Mubaligh Muhammadiyah & Anggota Bidang PDPM

Posting Komentar untuk "Jangka Jayabaya: Antara Karya Sunan Giri III dan Prabu Jayabaya"