Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Polemik Agama Asli dan Import, Agus Supatma

Pasca disahkannya JR _(judicial review)_ UU Administrasi kependudukan oleh Mahkamah Konstitusi (7/11/2017)—rasanya para penganut atau penghayat aliran kepercayaan mendapatkan angin segar karena perjuangannya selama ini untuk mendapatakan titik terang. Dan tentu saja ini merupakan kemajuan yang besar bagi mereka. Setelah berjuang puluhan tahun untuk mendapatkan legalisasi dari pemerintah, akhirnya baru saat ini mereka benar-benar secara sah diakui secara konstitusi dan tentu saja boleh mencantumkan “agamanya” di kolom KTP. Adapun uji materi ini diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demara Sirait, Arnol Purba dab Carlim. Jika melihat definisi yang ada dari hasil Kongres Kebatinan Indonesia—disebutkan bahwa Kebatinan adalah sumber dan asas sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun demikian pendapat ini langsung dipatahkan oleh Prof.Dr. M Rasjidi yang menyatakan sebaliknya—bahwa kebatinan bukanlah sumber dari asas Ketuhanan Yang Maha Esa—melainkan Ketuhanan Yang Maha Esa lah yang menjadi sumber segala sesuatu. Proses perdebatan antara Islam dan kebatinan ini sesungguhnya sudah sangat lama—dan saat ini mereka kembali menunjukkan tajinya.
Keputusan buru-buru dan seperti bernuansa politis ketimbang akademis dari Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat. K.H. Ma’ruf Amin yang merupakan ketua umum Majelis Ulama Indonesia angkat bicara mengenai hal ini. Menurut beliau, “Fatwa MK itu sifatnya final dan mengikat. Tapi implikasinya itu sangat besar sekali.” akan menjadi rancu ketika seorang warga negara menuliskan aliran kepercayaannya pada kolom agama di KTP atau KK. Apalagi, jika ada yang mencantumkan agama yang mirip dengan agama besar lainnya. (Kompas.com). Beliau berbicara demikian bukan tanpa sebab—karena beliau paham betul terkait dengan dampak yang ditimbulkan pasca pengesahan aliran kepercayaan ini. Termasuk nantinya mereka akan meminta hak yang sama dengan agama-agama yang ada di Indonesia ini.
Reaksi serupa datang dari pakar dalam masalah ini. Di sini yang menjadi persoalan “bukan hanya soal penyamaan kedudukan ‘agama’ dan ‘kepercayaan’ tetapi juga pendiskreditan Islam—dan agama-agama yang lain-sebagai agama asing atau agama impor”, tutur Arif Wibowo yang merupakan direktur Pusat Studi Peradaban Islam Solo yang sekaligus pengamat Budaya dan Kekristenan. Senada  dengan Arif Wibowo,  Susiyanto yang merupakan filolog teks Jawa dari Unissula ini berpandangan demikian, “dalam paparan sejumlah pihak ‘kebatinan’ (sekarang disebut aliran kepercayaan )  sering disuarakan sebagai agama asli Indonesia. Sebab ia lahir dan berkembang serta diikuti oleh masyarakat setempat. Klaim yang semacam ini biasanya dibarengi dengan tudingan bahwa sejunlah agama besar, terutama Islam, sejatinya merupakan anasir asing yang hadir dan menjajah ruang kesadaran masyarakat local. Gambaran yang semacam itu dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan dikotomi antara Islam dan kebudyaan local, dalam kasus di Jawa dengan kebatinan Jawa (kejawen) atau antara Islam dengan Etika Jawa.” (Republika, 16/11/2017).
Pernyataan kedua tokoh ini bukan tanpa sebab, karena memang di berbagai kesempatan sering sekali ditemukan fakta yang demikian itu. Konstruksi yang semacam ini sebetulnya telah dirancang sedemikian rupa—sehingga bagi kalangan yang tidak mengerti duduk persoalan akan berbicara _sak penak e udele dewe._Jika ditarik lagi kebelakang para guru bangsa telah banyak yang mengingatkan akan datangya proyek besar narasi penjajah ini. Salah satunya adalah Mohammad Natsir yang bersuara tentang hal ini. Dalam bukunya _Percakapan Antar Generasi; Pesan Perjuangan Seorang Bapak._ Beliau menyebutkan ada tiga tantangan dakwah umat Islam di Indonesia, yaitu (1) Pemurtadan, (2) gerakan sekularisasi, (3) gerakan nativisasi. Nah pada poin nativisasi inilah kemudian yang saat ini sedang melok-melok di hadapan kita dan perlu kita hadapi. Natsir mengingatkan perlunya umat Islam untuk mencermati secara serius gerakan nativisasi yang jelas-jelas teroganisir tersebut. Jika dilihat seksama tiga tantangan yang disebutkan oleh guru bangsa tersebut memiliki satu tujuan yakni meminggirkan peranan Islam dari ingatan public.
Nativisasi ini sesungguhnya proyek tinggalan penjajah dalam rangka untuk mendeislamisasi Nusantara. Cara yang ditempuhpun berbagai macam mulai dari pendidikan, sejarah, atau melalui kebudayaan, dan lain-lain. Tujuannya sebaaimana dijelaskana di atas—mengecilkan peran Islam dengan cara membangkitkan kebudayaan pra Islam. Penggalian kuburan budaya pra-Islam ini ketika sudah berhasil seperti sekarang ini maka, agama Islam dianggap seolah-olah agama yang asing bagi bangsa ini. Dalam hal ini SMN Al-Attas juga angkat bicara mengenai peranan intelektual dari kaum penjajah semacam Snouck Hurgronje. Beliau kemudian menegaskan bahwa kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad lalu (Al-Attas; 2001). Hurgronje merupakan salah satu dari sekian banyak Javanolog. Menurutnya Islam merupakan kulit luar dari masyarakat Jawa—sementara bagian dalamnya merupakan tradisi sebelum Islam. Ibaratnya seperti pakaian rombeng yang bolong-bolong. Makanya budaya-budaya pra-Islam dibangkitkan dari kuburan atas dasar yang semacam ini.
Jika ingin melihat Nativisasi yang dilakukan secara terstruktur lagi selain yang dilakukan oleh empat orang yang melakukan JR tersebut—dalam waktu yang belum begitu lama, kita bisa melihat Dedi Mulyadi yang merupakan bupati di Purwakarta. Salah satu cara yang dilakukan olehnya adalah dengan membangun banyak candi, patung, menmpeli pepohonan dengan kain kotak hitam putih, mengganti Assalamu’alaikum dengan salam dari varian local sampurrasun, dan lain-lain. Menurutnya agama Islam sama halnya seperti budaya. Hal inilah yang kemudian memicu ketegangan antara Habib Rizik dan juga Dedi Mulyadi. Dalam hal sejarah kita juga bisa melihat impian banyak orang untuk kembali pada kejayaan masa lalu—misalnya masa Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan salah satu media _mainstream_ milik Hindu, disebutkan “kembali kepada Hindu adalah mutlak bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara adidaya ke depan, karena Hindu merupakan satu-satunya agama yang dapat memelihara dan mengembangkan jati diri bangsa sebagai modal dasar  untuk menjadi Negara maju.” (Adian Husaini, 2015).
Sebetulnya nampak sekali narasi yang ingin diarahkan, dan ini tentu saja berjalan rapi dan terstruktur. Sehingga wajar saja jika banyak orang yang salah dalam memahami pelajaran sejarah. Misalnya saja tuduhan bahwa kerajaan Islam di Demak lah yang kemudian dituduh sebagai pemusnah kerajaan Majapahit. Padahal kehancuran Majapahit ada banyak factor yang salah satunya adalah perang saudara hinngga mengakibatkan kerajaan makin kacau. Pada titik inilah kemudian banyak orang yang kemudian ikut mempersepsikan bahwasannya kedatangan Islam tak lain adalah dalam rangka menghancurkan tradisi yang ada di Nusantara. Pada intinya apa yang mereka impikan ini mungkin saja juga akan direalisasikan secara nyata melalui pengesah UU Adminduk ini. Padahal narasi yang semacam ini jelas-jelas hasil dari konstruksi para orientalis ataupun orang-orang lokal macam M Yamin dan kawan-kawan dalam rangka meminggirkan Islam. Ini juga tidak disadari olah masyarakat.
Maka, jika sekian banyak aliran yang dikatakan sebagai ‘kepercayaan’ (agama) asli sementara Islam yang sudah hadir sejak abad ke tujuh tanpa didasari oleh pemaksaan ataupun kekerasan—kemudian dituduh sebagai agama import, adilkah hal ini?. Padahal banyak sejarahwan Barat juga menyatakan bahwa kedatangan Islam sama sekali merusak tatanan budaya lokal, yang ada hanyalah pengislaman budaya itu sendiri baik melalui akulturasi maupun asimilasi. Maka benar saja apa yang dikatakan oleh KH Amin Ma’ruf tersebut. Implikasi dari itu semua memang sangat luas—dan bisa saja menimbulkan _chaos_ di masyarakat. Bayangkan saja jika sejumlah 187 aliran kepercayaan yang tercatat di bawah kementrian pendidikan dan kebudayaan—kemudian semuanya meminta hari libur semua, maka akan ada 193 hari libur. Belum lagi keberadaan guru agama, tempat ibadah, struktur kepercayaan itu sendiri, serta banyak hal lain yang tentu saja bikin pusing tujuh keliling. Itu baru yang tercatat—yang belum kecatat mesti akan ikut-ikutan minta disahkan.
Satu hal yang tidak boleh dilepaskan adalah bagaiaman kemudian aliran itu kemudian mengatur tata cara peribadatan, perkawinan, hubungan sosial, perawatan jenazah, dan lain-lain. Masalahny dibeberapa aliran kepercayaan ternyata juga tidak bisa mandiri semisal dalam perawatan jenazah. Ada cerita menggelitik yang disampaikan oleh Susiyanto—di suatu hari ia diajak bercerita tentang masa lalu oleh temannya. Si teman ini mungkin saja sudah _tersibghoh_ oleh pemikirannya Muh Yamin yang mengkonstruksikan Gajah Mada itu, sehingga ia ingin masa sekarang ini kemudian kembali ke peradaban pra-Islam. Dengan enteng Susiyanto menjawab, bahwa model pemakaman sebelum adanya Islam adalah dengan cara dihanyutkan, mayatnya diberikan pada burung, dibuang ke bukit, da lain-lain. justru di Islamlah ada semacam penghormatan terakhir kepada jenazah.pada saat terjadi perkawinan antara hindu-budha yang melahirkan doktrin bairawatantra yang ritualnya berupa berhubungan intim bersama-sama, mabuk, dan tak lupa mengorbankan seorang gadis untuk dijadikan sesembahan. Apakah semacam ini peradaban yang aka dibangkitkan. Mungkin teman beliau pergi sambil menundukan muka malu.
Sampai pada persoalan yag semacam ini saja aliran ini sudah dilanda kebingungan, lantas bagaimana mereka akan merumuskan teologinya. Dan tentu saja ini buka perkara yag mudah. Lagipula masyarakat yang kemudian menjadi jamaah dari aliran kepercayaan ini—biasanya di masa tua akan diliputi kebingungan dan kesusahan. Karena ajal semakin dekat—dan tentu saja jika meninggal dunia tidak akan diberikan tahlil. Maka yang harus dicamkan sekailagi adalah—tidak adil jika kemudian Islam yag mayoritas ini dituduh sebagai agama import. Karena hampir-hampir tidak ada yang asli dari lokal Indonesia ini. Kata asli, original, batin bukan merupakan bahasa lokal Indonesia—tetapi serapan dari bahasa asing-alias import.

Dengan demikian keberadaan agama (kepercayaan)yang diklaim asli tersebut sesungguhnya sangat probematis. Karena ia sendiri tidak mampu untuk menunjukkan identitas dirinya sendiri. Maka di siniliah peranan para orientalis—sejarawan barat berperan untuk menahbiskan aliran kepercayaan sebagai sesuatu yang asli—sementara agama yang lain termasuk Islam merupakan _liyan, import, non pribumi, dll_. Dengan adanya pengesahan aliran ini, maka tugas dakwah Islam semakin berat dan tentu saja harus merumuskan sesuatu hal yag tepat untuk mencari solusi atas segala problem yang ada saat ini. Sudah saatnya merekatkan kembali ukhuwah—dan membuang jauh-jauh perbadaan yag sifatnya tidak penting.
_*Allahu a’alm*._

Posting Komentar untuk "Polemik Agama Asli dan Import, Agus Supatma"