Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Maulid Nabi, Simbol Budaya Dinamis, Menurut Kuntowijoyo

Bagi orang Jawa, khususnya masyarakat pinggiran yang secara kultural merupakan basis Nahdlatul ‘Ulama—momen Maulid Nabi merupakan momen yang sangat istimewa. Karena pada saat itu mereka kembali meresapi dan mengingat kembali atas apa saja yang telah diperjuangkan dan diajarkan Nabi kepada ummat Islam. 
Maulid Nabi, Simbol Budaya Dinamis, Menurut Kuntowijoyo

Meskipun terdapat perbedaan dalam perayaan yang cukup mencolok dengan masyarakat kota. Dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad Shalallahu alayhi wassalam—masyarakat desa merayakannya dengan acara semacam tasyakuran berupa genduren. Nah, tradisi ini kadang-kadang dicibir oleh masyarakat modern—namun sebenarnya di dalamnya juga menyampaikan pesan-pesan yang bagus dalam do’a-do’anya. Biasanya dalam acara peringatan Maulid atau yang sering orang menyebut dengan Muludan ini tidak terlalu pernak-perniknya. Dalam acara ini hanya ada nasi uduk dan ayam lodho ataupun ayam panggang. Kemudian suguhan yang semacam ini disebut dengan rangsulan. Berikutnya dalam do’a-do’a juga berisi kalimat-kalimat semacam Gusti Allah, Kanjeng Nabi Muhammad, baginda Abubakar, Umar, Usman, Ali, dan lain-lain. tidak ada kalimat-kalimat yang mengandung unsur-unsur mistis. Pun demikian dengan doa berikutnya yang menggunakan bahasa arab yang bersesuaian dengan doa sehari-hari.

Dari hal ini kita bisa menangkap pesan bahwa makna kata rangsulan ini berasal dari kata Rasul--yang kemudian oleh orang Jawa diterjemahkan kembali menjadi hal yang demikian itu. Perlu dimaklumi bahwa sebagian orang Jawa masih belum memahami makna-makna dalam Islam sehingga perlu semacam kode ataupun bisa disebut dengan tanda. Penciptaan simbol ataupun kode yang demikian ini  menurut Kuntowijoyo dalam bukunya Paradigma Islam, “merupakan gejala yang menarik perhatian karena begitu sibuknya sebuah budaya baru muncul karena sentuhan Islam”. Bisa jadi sebelum adanya pengkodean yang semacam ini—dulu banyak orang yang memang sama sekali tidak mengenal Rasul—apalagi Tuhannya. Oleh karenanya diperlukanlah kode-kode dalam melakukan dakwah. 

Sebuah budaya memang harus melakukan coding dan decoding secara terus menerus. Namun Pak Kunto juga mengingatkan bahwa penciptaan dan penguraian kode, sebuah kode budaya harus melihat referensi awalnya, mencari autensitas. Kesadaran dan kemurnian referensi ini menurut beliau perlu terlebih dahulu ditanamkan, sebelum mencipta dan menguraikan kode dikerjakan. Pembentukan kode ini bukan saja suatu kenyataan, tapi suatu keharusan sejarah.

Disadari atau tidak manusia merupakan animal simbolicum, makhluk yang menciptakan simbol. Sementara kebudayaan itu termasuk juga ide dan simbol. Maulid Nabi ini juga merupakan simbol atau tanda untuk kembali mengingat sang teladan sepanjang zaman yakni Nabi Muhammad Saw., Untuk mengingat kiprah baginda Nabi ada berbagai macam cara yang salah satunya seperti yang disebutkan di atas. Adapula yang melakukannya dengan pengajian, lomba-lomba islami. Itu semua tak lain dalam rangka mengingat dan meresapi kembali perjuangan baginda Nabi.  Sementara itu, Kebudayaan memang suatu keharusan ataupun fitrah yang dimiliki oleh setiap Manusia. Meskipun kadang-kadang banyak kritik di sana-sini itu merupakan suatu hal yang wajar.

Budaya sendiri bersifat dinamis alias terus bergerak. Jika budaya di dalam sebuah budaya masih terdapat berbagai macam klenik ataupun jauh dari nuansa islami, hal ini terjadi kerena belum mendapat sentuhan Islamisasi. Tidak perlu dibid’ah-sesatkan. Nalar orang modern atau penggungatnya yang post modern kadang juga tidak bisa menangkap atau mengurai sebuah kode. Misalnya ketika melihat orang Jawa yang pertama dilihat adalah kesesatan, kesyirikan, dan lainnya. Makanya kemudian muncul juga buka ensiklopedi kesyirikan orang Jawa atau semacamnya. Kalau sudah semacam ini sejatinya kita sudah terjabak dalam rasionalisme yang akut. Padahal dahulu kala, ketika mendengar nama Jawa tersebut adalah identik dengan Islam. Maka jika ada orang Jawa yang bukan Islam sebetulnya hal yang aneh. Apalagi melihat buku-buku yang seperti itu. Tetapi nampaknya orang modern yang notabene merupakan masyarakat perkotaan ternyata juga melakukan tradisi yang sama dengan cara berbeda.

Setidaknya Maulid Nabi merupakan simbol agama yang tidak terelakkan. Simbol agama memerlukan integrasi, yaitu kekuatan yang menjadi pusat pusaran untuk bermakna. Dalam hal ini disebutkan oleh Pak Kunto dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid, menjelaskan bahwa integrasi yang pertama terjadi dalam Budaya I yang dalam hal ini diwakili oleh elemen Nahdlatul ‘Ulama yang memiliki letak integrasi di luar pelaku, dalam satuan lebih luas yaitu Komunitas. Misalnya orang-orang dari budaya I menyelenggarakan sealamatan sesuai dengan jadual yang ditentukan oleh komunitas tersebut. misalnya perayaan Maulid Nabi tersebut. tempat dan undangannya juga ditentuka oleh komunitas. Fungsi dari simbol budaya I ini adalah untuk mengukuhkan solidaritas komunitas.

Sementara dalam budaya II integrasi simbolis terletak di dalam, yakni kesadaran individual dari personal. Orang budaya II mengadakan selamatan (namanya berubah menjadi syukuran) sesuai dengan waktu, tempat, dan undangan yang telah ditentukam sendiri, tidak harus terikat dengan komunitas. Dalam  budaya II ini peranan komunitas tidak lagi menjadi begitu penting. Karena pendewasaan seseorang tidak lagi terletak pada komunitas, tetapi nuclear family. Dari penjelasan tersebut, kemudian pak Kunto menggarisbawahi bahwa dalam budaya I yang diwakili oleh NU serta gerakan tradisionalis pada umumnya. Sedangkan budaya II diwakili oleh elemen Muhammadiyah dan gerakan modernis pada umumnya. Yang membedakan adalah ada bias desa, masyarakat agraris, serta masa lalu dalam NU. Sementara bias kota, masyarakat industrial, dan masa kini dalam Muhammadiyah,. Kebudayaan dalam Nu kata kuncinya pelestarian dan pewarisan. Sementara dalam Muhammdiyah penyesuaian dan kemajuan.

Kata Beliau,  Kita tidak usah curiga dengan budaya, sebab sekarang ini dan dimasa yang datang pada masyarakat industrial lanjut, bukan lagi jawaisme, ruralisme, dan elitisme yang di masa KH ahmad dahlan bertentangan dengan Islam dann menimbulkan penyakit TBC, tetapi bertentangan dalam bentuk lain. sudah menjadi perubahan sosial dan budaya, sehingga ketakutan pada TBC tidak lagi dapat menjadi battle cry  dari gerakan keagamaan, sehingga komitmen bisa berubah. Perbedaan antara abangan dan santri sudah diselesaikan dalam pemdidikan agama di sekolah, perbedaan antara desa dan kota telah hilang oleh pembangunan.

Mestinya dalam perayaan maulid ini juga tidak perlu terjadi adanya ketegangan budaya, salahnya lagi jika hal ini juga ditarik pada ketegangan politik.  Momen maulid sebetulnya mengandung begitu banyak nilai-nilai yang bisa kita ambil. Kita bisa meneladani Rasulullah Saw., dalam hal apapun semampu kita. Melalui maulid ini Kita harus kembali membawa nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Rasul. Pesan ini tentu saja bersifat universal yang harus diterapkan dan diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga terwujudlah masyarakat utama. Pada akhirnya marilah kita semua mengakomodir seluruh budaya-budaya yang demikian ini, agar budaya-budaya yang terlalu jauh dari Islam--kemudian bisa di Islamisasi. Dengan hal ini dinamislah budaya tersebut.   Dan perlu diingat bahwa Islam telah menghasilkan peradaban yang begitu hebat, dan yang ada dalam peradaban tersebut merupakan sebuah budaya  yang tinggi.
Wallahu a’lam.

Ditulis oleh : Agus Supatma
Angbid Kader PDPM Ponorogo

Posting Komentar untuk "Maulid Nabi, Simbol Budaya Dinamis, Menurut Kuntowijoyo"