Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rakyat Menjerit Elitnya Memalukan

Rakyat Menjerit Elitnya Memalukan
Kemarin lusa baru saja geger soal E-KTP dan belum selesai, sekarang geger lagi soal gaji  para pejabat BPIP.  Persoalan pokoknya hanya masalah besaran uang atau duit. Ada yang mengatakan gajinya pejabat  BPIP  sebesar 112 juta rupiah. Di lain pihak ada yang mengatakan 100 juta rupiah, dan yang diseberang sana mengatakan ,  itu semua tidak benar. 

Pihak yang mengatakan  gajinya  100 juta atau 112 juta rupiah didasarkan atas keseluruhan yang akan diterimakan kepada pejabat teras BPIP. Sedangkan yang mengatakan itu tidak benar, hanya berdasarkan gaji pokoknya saja, yaitu 5 juta rupiah, dengan alasan angka sebesar 100 juta atau 112 juta rupiah itu kalau dihitung bersama seluruh tunjangan-tunjangan yang ada. Akan tetapi bagi rakyat soal gaji pokok dan tunjangan tidak terlalu penting, yang penting jumlah uang yang diterima dan kinerjanya. 

Menurut Prof Mahfud MD,  bahwa gaji pokok pejabat BPIP  tersebut sebenarnya tidak terlalu  besar, yaitu hanya 5 juta rupiah. Jikalau dibandingkan  dengan pejabat negara yang setara,  misalnya Wantimpres, maka gaji tersebut masih lebih kecil atau dibawahnya. Kemudian  jikalau dibandingkan dengan gaji Gubernur BI  tentunya sangat jauh, atau masih terlalu kecil. Polemik tersebut  diawali dengan adanya  meme  yang menyindir gaji pejabat BPIP. Meme tersebut kurang lebih sebagai berikut,  saya Pancasila, saya digaji 100 juta rupiah. Berangkat dari sindiran tersebut maka persoalan menjadi meluas kemana-mana setelah ada diskusi di stasiun TV, yang menghadirkan 2 orang nara sumber, yaitu Prof. Mahfud MD selaku anggota Dewan Pengarah BPIP dan Agus Pambagyo, pakar kebijakan publik  

Diskusi   tersebut sebenarnya sangat mencerahkan. Tetapi akan lebih elegan jikalau diselesaikan secara internal saja, atau cukup dengan yang bersangkutan. Jangan di bawa ke ruang publik. Tidak elok dan sungguh sangat memalukan. 

Sekarang ini rakyat  sedang susah, listrik naik, pajak naik, barang-barang kebutuhan pokok naik, biaya masuk sekolah  naik, cari kerjaan sulit, cari pinjaman modal sulit, pendapatan belum jelas, petani banyak gagal panen, mau lebaran nggak punya apa-apa, eeeeee.... malah  disuguhi polemik besaran gaji atau duit. 

Akibatnya rakyat yang menyaksikan obrolan dan polemik tersebut tidak semakin  tenang, dan tercerahkan, tetapi semakin menjerit. Bagaimana tidak, pendapatan sebesar itu bagi rakyat bawah, bisa menghidupi satu keluarga selama 5 tahun. Apakah itu  buruh tani atau tukang sayur obrok, satpam, kuli atau buruh kasar dan seterusnya.  Dengan asumsi rumah tangga tersebut terdiri dari 3 ( tiga) orang anak, ditambah ibu dan bapak , mungkin juga bersama kakek dan nenek.

Sesungguhnya dikalangan rakyat pinggiran, apakah  abang becak, pedagang asongan, kuli bangunan, kuli angkut, satpam pabrik, pedagang obrok keliling, mindring,  sekarang ini2 mau makan nasi dengan sayur terong, dan tempe bersama sambal bawang saja, harus di irit-irit sedemikian rupa. Dengan harapan dan do'a  agar kebutuhan setiap bulan bisa terjaga.

Oleh karena itu,  kalau mereka disuguhi polemik dan obrolan seperti itu, berarti mereka itu telah mati rasa dan tidak punya rasa malu. Karena seumur-umur mereka belum pernah menyaksikan uang 100 juta, baik di almari rumahnya atau di dalam rekeningnya. Jangankan punya rekening, sebagian besar dari mereka tidak pernah mengenal makhluk yang namanya rekening . 

Kalaulah ada dari mereka yang pernah menerima uang sebesar itu, misalnya seratus juta atau 200 juta rupiah,  mungkin dari hasil jual  tanah  pekarangannya. itupun kalau masih punya, atau  pembayaran ganti rugi atas rumahnya yang digusur. Penulis masih ingat  ketika rakyat kecil yang menerima BLT 300 ribu rupiah  pada jaman Presiden SBY, ada yang menangis  dan merasa tersanjung, apalagi ada yang dirapel beberapa bulan. Bahkan ada yang sampai dirumah uangnya diciumi dan langsung disimpan dalam stagen ( centing ) amoh. Sungguh sebuah drama kemanusiaan yang mengharukan. Sayang sekarang dihentikan pada saat  mereka benar-benar tidak berdaya. 

Mungkin dari meme tersebut ada yang tersinggung, tapi yang di sayangkan kenapa d dibawa keranah publik melalui  stasiun TV. Itupun masih dibarengi dengan menyeret-nyeret lembaga tinggi/negara yang lain, mulai DPR-RI, Gubernur BI, Mahkamah Konstitusi, sampai ke Wantimpres, dan seterusnya. Malahan sampai hati  menyebut angka gaji pejabat negara dan  pendapatkan anggota dewan yang bisa  dibawa pulang ke rumah. Termasuk anggaran reses yang miliaran rupiah per-anggota dewan. Sebenarnya itu baik, tapi ada tempatnya sendiri. 

Bahkan juga menyeret partai PKS, yang  dikatakan sudah melahirkan dua orang koruptor besar dari pimpinan partai ( tak perlu saya sebutkan namanya ) serta perjalanan dinas seorang ketua MPR Dr. Hidayat Nur Wahid keluar negeri yang katanya menghambur-hamburkan uang negara miliaran rupiah. Seingat penulis, koruptor besar tersebut adalah para penjahat BLBI , CENTURY, dan lain-lain yang merugikan keuangan negara trilyunan rupiah. Sedangkan koruptor yang lain kecil, melainkan cukup disebut kelas teri, bandeng, tuna dan kakap. Maaf ini hanya untuk mendorong KPK  agar segera menyelesaikan kasus besar BLBI.   

Seharusnya sebagai sesama muslim dan sebagai seorang cendekiawan dan mantan petinggi negara, tidak sepantasnya wilayah polemik melebar ke mana-mana. Tulisan ini bukan bermaksud untuk  membela PKS dan mantan Ketua MPR dari PKS, karena penulis bukan anggota, pengurus maupun pendukung PKS. Penulis hanya semata-mata ingin menjaga  ukhuwah, marwah dan kehormatan sesama muslim, yang saat ini diterpa oleh berbagai isu, hujatan, dan fitnah.  Yang endingnya hanya ingin memojokkan umat islam, biar semakin ndepipil di sudut sempit dalam  kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejujurnya dan sesungguhnya, bahwa polemik di depan stasiun TV  tersebut sangat memalukan dan  terlalu emosional, sehingga tak terkontrol. Medan konflik  merambah kemana-mana. Lupa kalau bulan ini, bulan suci ramadhan, yang seharusnya dijadikan bulan untuk bertafakkur,dan  mempererat tali silaturrahim, serta sebagai bulan untuk muhasabah.

Untuk itu saya memberi saran kepada semua pihak, berhentilah berpolemik tentang gaji. Sangat memalukan dan menyedihkan. Apakah itu polemik tentang  gaji pokok tanpa tunjangan maupun gaji pokok plus tunjangan. Karena yang dilihat oleh pemburu berita,  pengamat dan rakyat,  bukan besaran gaji pokoknya, melainkan pendapatannya yang dibawa pulang untuk anak dan istri atau suami. 

Gaji pokok tidak dapat dijadikan ukuran. Lihat gaji pokok para pejabat negara, mulai dari Wakil Rakyat, Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI,  Hakim Agung, sampai ke Presiden.  Gaji pokoknya ngak seberapa besar, yang besar itu tunjangannya.  Barang kali tidak ada  gaji pokok pejabat negara kita yang mencapai 200 juta. Tapi faktanya banyak pejabat yang gaji pokoknya hanya berkisar 5 sampai puluhan juta,  bisa menghasilkan miliaran rupiah tiap bulan. Penghasilan ini setelah ditambah tunjangan nunjang palang. Buktinya berapa ratus atau berapa ribu pejabat negara mulai dari wakil rakyat, bupati/walikota, gubernur, menteri, jendral, dan lain-lain yang sekarang masuk penjara,  baik yang mondok sementara di LP Suka Miskin Bandung, maupun tempat lain. 

Selanjutnya sebagai penutup,  nasehat penulis kepada  semua pihak, berpolemiklah dengan penuh etika moral dan hukum.  Jangan ada lagi pejabat negara yang merasa paling bersih, dengan mengatakan  kami selalu mengembalikan uang honorarium, fee, tunjangan, dan atau pemberian yang tidak ada dasar hukumnya. Kemudian apa yang dilakukan disiarkan  melalui media TV. Seharusnya tidak perlu woro-woro di stasiun TV. Cukup Allah saja  Yang Maha Tahu. 

Barangkali ditengah-tengah krisis akhlaq yang melanda bangsa dan negara ini, masih ada anak bangsa yang benar-benar bersih, lebih jujur dan  ikhlas dalam mengabdi kepada negara dan bangsa. Ada lho...yang sejak rezim orde baru masih berkuasa, maupun pada jaman reformasi ini, orang yang  masih punya komitmen tinggi terhadap agama, etika moral, dan etika hukum . 

Mereka masih  konsisten menolak gaji legal tapi abal-abal, serta  menolak menerima  tunjangan meskipun yang lain berebutan. Mereka mengembalikan selisih harga tiket, mengembalikan honor  lembur yang tidak sesuai dengan waktu yang riel, mengembalikan kelebihan uang saku harian ketika kunjungan kerja/studi banding dan workshop selesai lebih cepat dari jadwal. Ikhlas menolak fee proyek, menolak  uang honorarium sidang atau istilah Prof. Mahfud MD uang gedok. Juga menolak diberi tanah sawah, dan dibelikan rumah oleh Pejabat, dengan alasan daripada kontrak rumah. Menolak menerima uang pesangon prematur, menolak biaya operasional yang legal. Bahkan ketika tunjangan sewa rumah atau tunjangan perumahan menjadi  polemik meluas, ikhlas menunda pencairannya. Meskipun berakibat tunjangan perumahan yang nilainya ratusan juta selama 4 tahun lebih dihapuskan oleh pemerintah dan tidak dibayarkan. Dan yang bersangkutan  tidak membawa problem penghangusan tunjangan perumahanya ke stasiun TV.

Akhirnya selamat menunaikan ibadah puasa ramadhan, mari kita pererat tali silaturrahim antar sesama anak bangsa, khususnya antar sesama muslim,  mari kita saling memaafkan.  Selanjutnya dari lubuk  hati yang paling dalam, saya selaku penulis artikel ini , menyampaikan  permohonan maaf yang setulus-tulusnya bilamana dalam tulisan ini ada  untaian kata atau kalimat yang kurang berkenan di hati semua pihak. Semoga kita tetap istiqomah di jalan amar ma'ruf nahi munkar, aamiin.

Suparno M Jamin
17 Ramadhan Tahun 1439 H/2 Juni 2018
Institute Transparansi Birokrasi dan Peradilan ( ITB Per)

Posting Komentar untuk "Rakyat Menjerit Elitnya Memalukan"