Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tersiksa oleh Gaya, Punker Life

Sedikit tersentak jiwa ini ketika wajah dengan meme tersiksa berdiri sontai di samping lampu merah di salah satu pertigaan kota Madiun. Ketika aku dan rombongan menikmati perjalanan menuju Gedung Islamic Center Madiun beberapa hari lalu. Laju perbincangan seperti terbelokkan oleh rambu-rambu seiring lampu merah menyala. Heran dan sedikit merinding membayangkan bagaimana rasanya telinga yang bagian bawahnya dilubangi sebesar tutup botol air mineral ukuran tanggung.

"Mak Sirr" di hati membayangkan cincin yang melingkar di lubang hidung, padahal seharusnya dipasang di jari tangan. Belum lagi jarum-jarum seukuran "paku reng" di tancapkan di ujung luar alis mata. Dan lingkaran besi di bibir bawah, rasanya akan sering bersinggungan dengan gigi ketika makan sate gulai kambing, tidak nikmat sekali.

Satu wajah yang sekilas telah menusuk hati seluruh rombongan di dalam mobil yang rata-rata orang-orang "alim" dengan pandangan hidup yang sederhana. Wajah dengan ribuan arti, dihiasi pernak pernik tato yang sepertinya telah memenuhi tubuhnya bagian atas, ini seperti menggambarkan expresi kerasnya kehidupan meraka yang sering dikenal dengan sebutan Punk.

Hampir semua orang tahu bagaimana orang-orang seperti ini menghabiskan hari-hari mereka di pinggir-pinggir jalan. Ngamen di lampu merah, moving dari satu tempat ke tempat lain dengan keluar masuk Bus umum, atau bahkan tak segan-segan numpang truk kosong yang sedang lewat. Entah bagaimana mereka menata pola makan dan menjaga kesehatan.

Ini adalah satu dari puluhan wajah yang "tercecer" akrab bercengkraman di dekat lampu merah itu. Terlihat mereka seperti melakukan diskusi ringan, bisa jadi membahas tentang politik, atau business management yang sedang mereka rencanakan, hahh, ini hanya candaan dalam hatiku. Atau apa ya yang mereka bahas ? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menghabiskan waktuku hingga mobil kijang rasa Alphard yang aku naiki melaju seiring dengan nyalanya lampu hijau.

Sekilas wajah itu telah menyisakan "sesuatu" di benakku. Betapa gaya yang mereka sampaikan sebagai bagian dari kemerdekaan berexpresi, kata media, telah menyiksa fisik mereka sendiri, ini pendapatku. Entah mereka merasa tersiksa atau justru merasa bangga.

Terlepas dari realita di dekat lampu merah itu, ada satu yang membuat sebagian kami kagum. Ini adalah tentang keakraban mereka, kesetiaan mereka satu sama lain. Makan bersama, melewati hari-hari bersama, tidur bersama-sama, jarang sekali mereka terlihat berjalan sendirian, selalu bersama dengan sahabat-sahabat mereka. Bahkan satu batang rokok biasa mereka hisap bareng-bareng. Mengagumkan yha ? [piem, catatanku]



Posting Komentar untuk "Tersiksa oleh Gaya, Punker Life"