Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SALAH KAPRAH PERKADERAN MUHAMMADIYAH (Antara Cita dan Realita)

Tujuan Ideal Perkaderan Muhammadiyah berdasarkan Buku Sistem Perkaderan Muhammadiyah (PP Muhammadiyah, 2020), tujuan perkaderan adalah sebagai berikut:

1.    Membentuk kader yang memahami Al-Islam dan Kemuhammadiyahan secara komprehensif.
2.    Menyiapkan kader sebagai pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan persyarikatan.
3.    Menciptakan kepemimpinan transformasional yang berakhlak mulia dan berdaya saing.
4.    Memastikan regenerasi organisasi yang berkelanjutan.

Abdul Rhosid (Sekretaris MPKSDI PDM Ponorogo)

Namun, dalam praktiknya, perkaderan Muhammadiyah kerap terjebak dalam kesenjangan antara idealisme dan realitas. Berikut beberapa bentuk penyimpangan yang terjadi:

1. Formalitas Menjalankan Program Kerja
Kegiatan kaderisasi seperti Baitul Arqam sering dilaksanakan sekadar memenuhi target laporan tahunan, tanpa pendalaman materi yang bermakna. Sehingga dampaknya Kader hanya mendapat "stempel" tanpa internalisasi nilai. Misalnya saja kegiatan Baitul Arqam tidak paham Kepribadian Muhammadiyah, tetapi tetap diluluskan.

2. Adu Gengsi Antar Cabang/Ranting/AUM
Kaderisasi dijadikan ajang kompetisi kuantitas (misal: jumlah peserta) atau kemewahan acara, bukan kualitas output.sehingga dampaknya substansi kaderisasi hilang, berganti dengan euforia seremonial. Misalkan saja Ranting A mengklaim lebih sukses dari Ranting B karena mengadakan Baitul Arqam di hotel, meski materi dangkal dan tujuan gak jelas.

3. Formalitas karena Regulasi Pedoman AUM
Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) seperti sekolah atau rumah sakit menyelenggarakan kaderisasi hanya untuk memenuhi penilaian atau akreditasi persyarikatan, dan dianggap bukan kebutuhan utama dalam pembinaan kader di AUM.hal ini berdampak kegiatan perkaderan menjadi "proyek administratif". Dalam hal ini bisa kita lihat misalkan saja Baitul Arqam bagi guru sekolah hanya 1 hari tanpa follow-up, padahal pedoman mensyaratkan 30 jam.

4. Tidak Ada Rencana Tindak Lanjut Sistematis
Usai pelatihan, kader tidak diberi peran nyata atau dibiarkan tanpa pendampingan. Sehingga kader potensial menjadi tidak produktif dan hilang jejaknya. 

Kaderisasi harus diukur dengan indikator output (misal: jumlah kader yang terjun di masyarakat), bukan sekadar kehadiran. Pimpinan persyarikatan wajib memantau rantai kaderisasi dari hulu ke hilir. Selanjutnya dilakukan pendampingan Pasca-Kaderisasi dengan membuat sistem mentoring berjenjang untuk memastikan kader tidak "lepas" setelah pelatihan.

Perkaderan Muhammadiyah bukanlah ritual tahunan tanpa makna, melainkan investasi peradaban. Jika kesalahan kaprah ini terus dibiarkan, Muhammadiyah akan kehilangan generasi penerus yang berkualitas. Saatnya kembali ke khittah: "Kaderisasi untuk membentuk manusia unggul, bukan sekadar memenuhi daftar hadir."



Post a Comment for "SALAH KAPRAH PERKADERAN MUHAMMADIYAH (Antara Cita dan Realita)"