Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kaderisasi di Muhammadiyah: Mempertahankan Substansi, Menginovasi Metode

Oleh:  Abdul Rhosid 
Sekretaris MPKSDI PDM Ponorogo

Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam yang berkemajuan, selalu menekankan pentingnya menjaga kesinambungan nilai (substansi) sekaligus melakukan pembaruan metode (form) dalam pendidikan dan perkaderan. Prinsip ini relevan dengan pesan KH Ahmad Dahlan: "Hidupilah Muhammadiyah dengan akal pikiran dan penuh perhitungan, jangan hanya dengan ikut-ikutan."

Dalam kaderisasi, ada nilai-nilai inti yang tidak boleh bergeser yaitu Aqidah Islamiyah, Pemahaman Ideologi Muhammadiyah, dan Akhlak mulia sebagai landasan gerakan. Cara menyampaikan nilai-nilai tersebut tidak boleh stagnan, sehingga harus ada inovasi metode pembelajaran. Sebab generasi muda hari ini hidup di era digitalisasi (gawai, media sosial, AI), gaya belajar visual-auditori yang dominan, dan kebutuhan experiential learning. Contoh nyata: Materi Tauhid dalam Baitul Arqam tahun 2.000 diajarkan melalui ceramah satu arah selama 2 jam. Di era sekarang, materi yang sama bisa disampaikan dengan Video animasi 15 menit, Diskusi kelompok berbasis studi kasus, Games simulasi keputusan berbasis nilai tauhid, dan kritik terhadap model kaderisasi konvensional. 

Beberapa pola lama yang perlu direformasi misalkan saja pada kegiatan Baitul Arqam yang masih terlalu kaku dengan jadwal padat tanpa jeda, metode hafalan pasif dan minim interaktivitas. Selain itu pada diklat kader yang masih mengandalkan ceramah monoton, materi tekstual tanpa kontekstualisasi dan evaluasi berbasis hafalan, bukan kompetensi. Padahal, penelitian Ma’arif Institute (2023) membuktikan bahwa retensi materi meningkat 70% ketika menggunakan metode gamifikasi dan partisipasi kader muda naik 2 kali lipat dengan pendekatan blended learning. 

Baitul Arqom

Dalam implementasi model inovasi kaderisasi—yang mungkin mencakup pendekatan digital, fleksibilitas kurikulum, atau keterlibatan lintas disiplin—tidak jarang muncul resistensi dari kalangan senior. Resistensi ini umumnya bersumber dari kekhawatiran akan lunturnya nilai-nilai dasar dan tradisi ideologis Muhammadiyah yang selama ini telah terbangun melalui pola-pola kaderisasi konvensional. Sebagian senior merasa bahwa inovasi bisa berisiko meminggirkan prinsip ideologis, disiplin struktural, serta kedekatan emosional yang terbangun lewat proses kaderisasi klasik seperti Darul Arqam, Baitul Arqam, atau perkaderan formal di Ortom.

Selain itu, resistensi juga muncul karena perbedaan cara pandang antar generasi. Para senior yang terbentuk dari sistem kaderisasi yang rigid dan hierarkis kadang merasa skeptis terhadap model-model baru yang lebih terbuka, partisipatif, atau berbasis teknologi. Mereka memandang bahwa pola tersebut dapat melemahkan militansi dan loyalitas kader terhadap Persyarikatan.

Namun demikian, resistensi ini sebenarnya dapat dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab ideologis untuk menjaga kemurnian gerakan. Maka dari itu, dialog lintas generasi perlu dibangun, agar inovasi kaderisasi tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Muhammadiyah, tetapi justru menjadi sarana aktualisasi nilai-nilai tersebut dalam konteks kekinian.
Dengan pendekatan yang inklusif, komunikatif, dan berbasis riset, model inovasi kaderisasi Muhammadiyah dapat diterima sebagai bagian dari ijtihad organisasi dalam mencetak kader yang unggul, relevan, dan tetap berakar kuat pada ideologi Persyarikatan

Tantangan lain yang harus dihadapi dalam proses kaderisasi Muhammadiyah saat ini adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang bersedia dan mampu mengambil peran strategis sebagai penggerak kaderisasi. Meski Muhammadiyah memiliki basis massa dan jaringan organisasi yang luas, tidak semua kader memiliki komitmen dan kesiapan untuk terlibat aktif dalam proses pembinaan kader secara berkelanjutan.

Keterbatasan ini muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari minimnya jumlah instruktur atau pelatih kader yang mumpuni, kurangnya kader yang bersedia menjadi fasilitator kegiatan perkaderan, hingga lemahnya regenerasi kepemimpinan di tingkat ranting dan cabang. Banyak kader potensial yang terjebak dalam kesibukan profesional, pendidikan, atau urusan pribadi, sehingga mengesampingkan peran dakwah dan kaderisasi sebagai bagian dari tanggung jawab berorganisasi.

Selain itu, rendahnya apresiasi terhadap peran-peran kaderisasi juga menjadi penyebab utama menurunnya minat kader untuk terlibat. Kegiatan kaderisasi seringkali dianggap sebagai tugas tambahan yang tidak memiliki nilai strategis atau manfaat langsung. Padahal, kaderisasi adalah jantung gerakan Muhammadiyah—yang tanpanya, keberlanjutan ideologi dan eksistensi organisasi akan mengalami stagnasi bahkan kemunduran.

Situasi ini diperparah dengan kurangnya sistem penguatan kapasitas SDM secara terstruktur, serta belum optimalnya pola pembinaan dan pemetaan kader yang berkelanjutan. Akibatnya, proses kaderisasi berjalan kurang efektif dan bergantung pada segelintir orang yang sudah kelelahan karena menjalankan banyak peran secara bersamaan.

Menghadapi kenyataan ini, Muhammadiyah perlu melakukan reorientasi dan revitalisasi strategi pengelolaan SDM kaderisasi. Diperlukan upaya sistemik untuk menumbuhkan kesadaran kolektif, meningkatkan kapasitas kader, memberikan ruang aktualisasi yang sehat, serta memastikan adanya insentif moral maupun struktural bagi kader yang berperan dalam proses kaderisasi. 

Oleh karena itu, inovasi dalam kaderisasi Muhammadiyah menjadi sebuah keniscayaan. Model perkaderan harus mampu bertransformasi—dari sekadar seremonial dan administratif, menjadi proses yang mendalam, relevan, dan membentuk karakter serta kompetensi kader secara utuh. Digitalisasi, pendekatan kolaboratif lintas disiplin, serta penguatan nilai dan praksis keummatan harus menjadi bagian dari wajah baru kaderisasi Muhammadiyah.

Dengan inovasi yang berakar pada nilai-nilai dasar Persyarikatan namun adaptif terhadap zaman, Muhammadiyah akan mampu mencetak kader-kader unggul yang tidak hanya loyal secara ideologis, tetapi juga tangguh dalam menghadapi tantangan global dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Post a Comment for "Kaderisasi di Muhammadiyah: Mempertahankan Substansi, Menginovasi Metode"