Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebebasan Menista Agama?, part 3 (habis)

agus-supatmaSemestinya seseorang mampu mempertimbangkan apa yang ia sampaikan, kehati-hatian dalam memilih diksi sangatlah penting. Karena bahasa yang benar akan meninmbulkan pemahaman yang benar. Jika yang berbicara orang yang tulus maka tidak akan muncul perkataan kontroversi apalagi kontraproduktif. Barangkali apa yang diucapkan olehnya merupakan bentuk kedengkian dan bukan sekedar ketidaksengajaan. Kita tentu berharap nasib si A Hok ini tidak setragis Husnain Muhammad Yusuf, Ghulam Akbar, Theo Van Gogh,—yang ketiganya dihukum mati oleh pengadilan dan hukum alam. Jika Muntazar al-Zaidi yang melempar sepatu ke wajah George W Bush juga dijebloskan ke penjara, maka seorang A hok juga harus diadili seadil-adilnya. Ketika pemerintah tidak mampu berbuat adil maka hukum alam akan berbicara.
Sepertinya kita juga harus mengiyakan perkataan dari Malton, “serahkan semua kententuan benar-salah pada suara mayoritas atau komunitas yang berilmu (otoritas), bukan pada suara minoritas atau individu yang sesat dan salah. Suara itu harus mengikat individu”. Menurut Gus Hamid “Al-Qur’an merupakan ilmu dan ilmu itu cahaya. Oleh karenanya cahaya itu tak boleh redup apalagi padam, cahaya itu harus tetap hidup dalam hati kita. Jangan ada seorangpun yang menghina cahaya itu bahkan mematikannya dari hati kita”. Maka penistaan apapun bentuknya tidak dibenarkan, karena hal ini telah diatur oleh undang-undang, serta menciderai Pancasila dan tentu pelaku penistaan ini bisa dipidanakan. Maka benarlah kata pepatah, keselamatan orang itu ada dalam menjaga lisannya. Lidah itu lebih tajam daripada pedang. Ajining diri dumunung ana ing lathi. Omong njuk ngnggo waton, ojo mung waton ngomong. Kesemuanya ini mengajrkan kita untuk senantiasa bertutur sopan serta yang baik dan benar, Wallahu a’lam bishowab.

Posting Komentar untuk "Kebebasan Menista Agama?, part 3 (habis)"