Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Refleksi Hari Pahlawan, Part 1


Pahlawan Sebagai Creative Minority
, Setiap tanggal 10 november tentu kita selalu ingat mengenai hari bersejarah itu, jika kita melakukan kilas balik terhadap masa perjuangan, kita akan mampu meresapi betapa heroiknya para pahlawan kita dalam dalam melawan penjajah. Suatu ungkapan populer menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai dan menghormati para pahlwannya. Bangsa tanpa pahlawan sama artinya dengan bangsa yang tidak memiliki kebanggan. Jika bangsa tersebut sudah tidak memiliki tokoh yang dapat dibanggakan maka bangsa tersebut merupakan bangsa yang tidak memiliki harga diri. Kita juga tentu ingat dengan jargon Bung Karno dengan JASMERAH-nya, rupanya jargon ini langsung ditangkap oleh pak Kuntowijoyo, kemudian beliau menyarankan “kita sebagai bangsa haruslah belajar dari sejarah, supaya lebih arif, dan tidak terperosok pada lubang yang sama. Dalam proses belajar dari sejarah itu, kita jangan jadi tawanan masa lalu, biarkan sejarah itu terbuka, maju dan berkembang.” (Nasiwan & Yuyun SW, 2016: 91)
Momen 10 november selalu berkaitan dengan hari bersejarah, namun demikian dalam sejarahnya perlawanan itu tidak hanya terjadi setiap tanggal 10 november, tetapi ditetapkannya tanggal ini minimal kita akan selalu mengenang jasa-jasa dari para pahlawan serta melakukan perenungan-perenungan untuk mengambil ibrah dari pahlawan itu sendiri. Pahlawan itu sendiri bukan hanya yang tercatat dalam buku-buku maupun tulisan-tulisan di makalah, paper, karya ilmiah dan lain sebagainya. pahlawan merupakan orang yang berjasa, karena telah mengorbankan harta jiwa raga dan nyawa sekalipun. Orang-orang yang tidak tercatat dalam sejarah tersebut jumalahnya bisa jadi lebih banyak, dan perannya juga tidak kalah penting. Namun demikian peran mereka juga tidak bisa lepas dari sosok sentral yang ada di tengah-tengah mereka yang senantiasa menjadi panutan serta tuntunan dalam melakukan sebuah tindakan. Yang semacam ini menurut Arnold J Toynbee disebut dengan creative minority, maksudnya adalah segolongan orang yang memiliki self determining—kemampuan untuk melakukan suatu tindakan yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat. Dengan adanya creative minority inilah kemudian bisa membebaskan kelompok manusia dari suatu hal yang membelenggu. Kuntowijoyo juga menambahkan “di tengah-tengah umat islam terdapat suatu golongan yang dipanggil oleh Alloh Swt., untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran”. Dalam konteks kekhalifahan bertingkat, mereka termasuk kaum cendekiawan yang merupakan golongan kecil yang harus kreatif mampu mencandra sejarah, mengubahnya dan menjadi ujung tombaknya. (Nasiwan & Yuyun SW, 2016: 111)
Melihat konteks dari pengertian tersebut maka peranan tersebut dimainkan oleh Ulama yang menjadi aktor intelektual di zamanya. Di setiap zaman memang akan selalu muncul creativ minority—dan sepertinya ini memang sunnatullah. Peranan yang dimainkan oleh ulama memang sangat beragam, tergantung kebutuhan dari masyarakat di zaman ulama tersebut hidup. Kita bisa mengambil contoh sebelum era penjajahan, dimana peran ini dimainkan oleh para Waliyullah—para wali ini memerankan hal yang begitu sentral dalam setiap langkah dakwahnya. Setelah datang penjajahan, maka tatanan hidup Islam yang telah dibentuk oleh para wali & ulama tersebut dirusak oleh penjajah tersebut. para pahlawan yang melawan penjajah memiliki motivasi dan tujuan yang jelas dalam berjuang untuk mewujudkan sebuah negeri yang merdeka. Para ulama tersebut juga mengobarkan perang sabil melawan penjajah. Sepanjang sejarah perjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, peranan umat Islam sangat dominan, bersambung. [agus supatma]

Posting Komentar untuk "Refleksi Hari Pahlawan, Part 1"