Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Refleksi Hari Pahlawan, Part 2 ( habis )


Pahlawan Sebagai Creative Minority
, Tuan-puan lihatlah salah satu contoh kepahlawanan yang diperankan oleh tokoh sekeliber Syekh Yusuf al-Maqassari. Sebagai ulama beliau bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagmaan, tetapi juga memimpin perang melawan pasukan penjajah belanda. Dengan heroiknya perlawanan beliau bersama sekitar ± 4000 pasukan hampir di seluruh Jawa Barat. Meskipun pada akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Sri Lanka dan Afrika Selatan beliau berhasil mengembangkan dakwah Islam dengan mengajar dan menulis. Usaha untuk mengkristenkan Syekh Yusuf juga menuai kegagalan, sampai akhir hayatnya tetap menjadi Islam. (Adian Husaini, 2016: 2). Lain halnya dengan Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani, meskipun beliau tinggal di Mekkah—beliau juga memberikan sumbangsih pemikirannya pada umat Muslim di Nusantara. Kepedulian beliau ini tidak lepas dari kondisi sosial-keagamaan yang tidak begitu menguntungkan ketika itu, beliau mendorong kaum muslim untuk melaksanakan jihad melawan penjajah melalui kitab yang beliau tulis yang berjudul Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fii-Fadhail al-jihad fii Sabililah wa-Karamah al-Mujahiddin fii-Sabilillah. Melalui kitab ini beliau menjelaskan bahwa hukumnya wajib bagi kaum muslimin untuk melakukan jihad melawan kafir penajajah bahkan kitab ini berpengaruh hingga awal abad ke-20. (Adian Husaini, 2016: 3).
Kita juga bisa melihat bagaimana kiprah Pangeran Diponegoro yang bisa membuat pertahanan belanda kocar-kacir, bahkan dalam ini merupakan bentuk perlawanan terbesar terhadap belanda. Dalam perlawanan yang dipimpin oleh Diponegoro beserta ulama lain ini merupakan gabungan kekuatan antara para santri dan ulama, meskipun pada akhirnya Pangeran Diponegoro juga ditangkap. Adapula perlawanan dari Tuanku Imam Bonjol yang melakukan perlawanan dalam rentang waktu yang cukup lama. Rasanya ada banyak sekali pahlawan yang memiliki kontribusi besar bagi bangsa, namun tak cukup rasanya bila ditulis di sini. Kita juga tidak bisa menafikan peran para pejuang dari kaum perempuan yang diwakili oleh banyak tokoh yang langsung berperan dalam menghadapi penjajah ini. sebut saja kiprah Cut Nyak Dien yang mampu menggerakan masyarakat Aceh untuk melawan penjajah. Beliau juga disebut dengan perempuan berhati baja, dalam sebuah riwayat beliau juga dikanal sebagai seorang penghafal al-Qur’an. Ada juga R.A Kartini yang juga berperan dalam mengangkat derajat perempuan melalui suara-suara yang ditulisnya. Rangkayo Rasuna Said, Rohana Kudus yang mempelopori jurnalistik bagi kaum perempuan, Ibundo Rahmah el-Yunusiyah yang merupakan perintis sekolah wanita Islam pertama di Indonesia.
Menurut Pak Kuntowijoyo setidaknya kesadaran masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga hal. Pertama, sampai pada abad ke-19, umat Islam hanya sebagai kawula atau abdi. Dalam hal ini umat Islam memiliki kesadaran mistik-religius, perlawanan terhadap kolonial didorong dan diorganisir oleh para Ulama & Kiai—perjuangan masih lokalistik. Kedua, dalam kurun waktu 1900-1920, pada periode muncul kekuatan baru, jika sebelumnya umat Islam merasa dirinya sebagai kawula, maka periode ini mulai mengidentifikasikan diri sebagai wong cilik, meski terjadi perbedaan hierarki dalam status sosial, namun demikian menurut Kuntowijoyo—umat Islam telah mampu merumuskan Ideologi. Kemudian pada periode ketiga (1920-1942) umat Islam sudah mampu mengidentifikasikan diri sebagai umat. Dengan begini umat Islam telah berusaha sekuat tenaga untuk menjadi satu kesatuan dengan tujuan yang sama dan menciptakan musuh bersama (comon enemy), adapun musuh tersebut adalah Kolonialisme tujuannya adalah untuk kemerdekaan. Pada periode ini bermunculan organisasi di berbagai daerah yang berguna untuk menghimpun segala kekuatan dan perjuangan. Dari sinilah kemudian muncul kesadaran dari untuk berkewarganegaraan dan kemudian ikut mencandra arah perjalanan bangsa dan negara.
Di masa Pergerakan Nasional inilah muncul tokoh-tokoh yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan dakwah model baru. Jika sebelumnya hanya fokus dalam hal pengusiran penjajah, maka yang dilakukan ketika pergerakan nasional dimulai maka cara-cara yang digunakan juga berbeda, tidak hanya menggunakan perlawanan senjata tapi melawan dengan intelektual. Dari sini pula kemudian lahir berbagai jami’ah, seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, Nahdlatul Ulama, dan masih banyak lagi jamiah-jamiah lain. tentu dari masing-masing jamaah ini memiliki pemimpin, sebut saja Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah yang berjuang untuk membendung kritenisasi melalui gerakan pendidikan , Ahmad Syurkati dari Al-Irsyad, Ahmad Hassan Bandung dari Persis, Haysim Ayari dari NU yang mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad untuk melawan kaum kafir belanda, ada Jendral Sudirman, Bung Tomo, dan lainnya. Selain muncul organisasi-oraganisai Islam, muncul juga organisasi seperti Budi Oetomo, Syarikat Islam, Jong Islamiten Bond, dan lain-lian. Selain orang-orang besar yang melakukan berbagai perlawanan, masih ada banyak tokoh yang belum tercatat dalam sejarah. Di era perumusan identitas ini kemudian muncul orang-orang besar sekelas M.Natsir, Buya Hamka, Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Moh Hatta, serta para pahlawan lainnya.
Menurut sejarahwan besar Ahmad Mansur Surya Negara, para ulama-lah yang kemudian memberikan penyadaran betapa pentingnya perjuangan bersama. Menurutnya “….upaya penguasaan seluruh Nusantara Indonesia tersebut, oleh ulama dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran adanya musuh bersama (common enemy), yakni penjajah Protestan Belanda…. Untuk menyebarkan kesadaran adanya kesamaan sejarah (common history). Adanya kesadaran kesamaan sejarah ini, menumbuhkan pula kesamaan kepentingan (common interest). Suatu kesamaan kepentingan ingin membangun Indonesia merdeka bebas dari penjajahan politik, kemiskinan, dan kebodohan. Dampaknya, tumbuhlah semangat dan kesamaan juang melawan imperialis Protestan Belanda yang telah melakukan perampasan tanah air, penindasan, dalam kehidupan berbangsa, dan hilangnya kekuasaan politik Islam. Lebih parah lagi kemerdekaan beragama ditiadakan karena tertindas oleh politik kristenisasi…. Kondisi penjajahan dan penindasan tersebut telah melahirkan pemahaman bagi rakyat Indonesia bahwa Islam identik dengan kebangsaan atau nasionalisme.” (Ahmad Mansur Suryanegara, 2014. 283-285.)
Pemahaman kebangsaan Islam yang terbentuk tentu juga tidak bisa dilepaskan oleh peran para ulama Nusantara yang telah berjuang dalam da’wah Islam. Peran ulama ini juga tidak bisa dilepaskan dengan jaringan keilmuan dan gerakan generiknya secara internasional. Perjalanan meretas identitas yang dipelopori oleh para pahlawan tersebut sesungguhnya sangat luar biasa sekali. Karena dalam setiap aksi yang mereka lakukan selalu ada sosok sentral yakni para ulama adapun basisnya adalah pesantren. Penyatuan Nusantara merupakan karya besar yang dihasilkan oleh para ulama. Kita nampaknya harus membaca sekali lagi lembaran-lembaran sejarah yang dicapai oleh para ulama. Sejarah selalu memberikan kita akan pelajaran penting dalam kehidupan. Di dalam Al-Qur’an juga banyak mengajarkan tentang pentingnya belajar sejarah untuk membaca realitas. Pun demikian halnya dengan Cicero yang mangatakan “Historia Magistra Vitae”, sejarah merupakan guru terbaik. Perjalanan merumus identitas tersebut bahkan sampai sekarang belum selesai, karena setelah era kemerdekaan ada banyak problem yang tidak atau belum mampu diselesaikan. Pahlawan di era sekarang sebetulnya bisa kita maknai lebih banyak lagi yakni orang-orang di sekitar kita yang mampu berkontribusi ke arah kebaikan. Oleh karenanya kita harus memperbanyak orang-orang yang mampu berkontribusi di bidangnya masing-masing. Pemikiran para tokoh ini harus terus digali, siapa tahu di sana ada titik terang dalam suasana pengap dan seperti sekarang ini. [agus supatma]

Posting Komentar untuk "Refleksi Hari Pahlawan, Part 2 ( habis )"