Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Islam dan Teologi Mustadafin, Imam Muchtar

Islam dan Teologi Mustadafin, Imam Muchtar
Dewasa ini kita rasakan telah terjadi perubahan sosial dimana mana dan diberbagai bidang. Terdapat banyak penyebab terjadinya perubahan sosial tersebut, antara lain: ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, komunikasi dan transportasi, urbanisasi, dan lain sebagainya. Sebenarnya, perubahan-perubahan yang melanda masyarakat dunia saat ini merupakan hal yang normal dan wajar, karena perubahan dalam masyarakat memang telah ada sejak zaman dahulu. Namun dewasa ini, perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya. Perubahan roda kehidupan masyarakat yang begitu cepat serta lemahnya pegangan manusia terhadap agama menjadi salah satu penyebab munculnya kemiskinan yang signifikan.
Hampir setiap daerah maupun negara di muka bumi ini pasti pernah dihadapkan pada persoalan kemiskinan, bahkan untuk negara maju sekalipun. Begitu juga dengan masalah tersebutlah yang masih menghantui kehidupan umat dan bangsa kita saat ini.Berbagai upaya dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi angka kemiskinan agaknya belum turun secara signifikan.
Menurut data Badan Pusat Statistika (BPS) pada bulan maret 2016. jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia 28,01 juta orang (10.86 persen). berkurang sebesar 0,50 juta orang dibandingkan dengan kondisi september 2015 yang sebesar 28,51 juta orang (11,13 persen). Presentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada september 2015 sebesar 8,22 persen, turun menjadi 7,79 persen pada bulan maret 2016. Sementara presentase penduduk miskin di daerah pedesaan naik dari 14,09 persen pada september 2015 menjadi 14,11 persen pada maret 2016.
Selama periode september 2015-maret 2016, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 0,28 juta orang (dari 10,62 juta orang pada september 2015 menjadi 10,34 juta orang pada maret 2016), sementara di daerah pedesaan turun sebanyak 0,22 juta orang (dari 17,89 juta orang pada september 2015 menjadi 17,67 juta orang pada maret 2016).
Pemahaman terhadap kemiskinan bisa dilihat dari beberapa dimensi, Pertama adalah rendahnya kesejahteraan yaitu tidak terpenuhinya kebutuhan sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, rendahnya akses sumber daya, yaitu terbatasnya peluang untuk memanfaatkan sarana guna menggunakan fasilitas dan berproduksi, seperti menggunakan tehnologi, kredit modal, pelayanan, kesehatan, sumber daya alam, dan sebagainya. Ketiga, rendahnya kesadaran kritis yaitu kesadaran yang menjadikan rakyat tahu akan hak dan dapat memperjuangkan hak itu, seperti mampu menentukan pilihan, berani berfikir bebas, berani mempertanyakan segala nilai, norma dan seterusnya. Keempat, rendahnya partisipasi dan peran rakyat untuk bisa terlibat atau ikut andil dalam pengambilan keputusan dan menjadikannya lebih aktif, bukan sebagai anggota yang pasif. Kelima, rendahnya daya posisi tawar yang merupakan kemampuan rakyat untuk menentukan nasib dan kepentingan sendiri, menentukan pemanfaatan sumberdaya, dan punya kekuatan menuntut hak[1].
Ada dua faktor yang turut serta menciptakan kemiskinan, Pertama, faktor eksternal, sistem dan struktur ekonomi global yang timpang lantaran lebih berpihak pada negara kaya dan kelompok kapitalis. Kedua, faktor internal yang di dorong oleh kebijakan pemerintah yang cenderung tidak sensitif dengan persoalan orang miskin. kaum lemah, kaum yang secara ekonomi miskin, dan secara politik dikebiri hk-haknya, sehingga banyak hak-hak dasarnya yang tidak diberikan oleh negara tersebut sering disebut sebagai kaum mustadafin.
Secara teologisMustad’afin di Indonesia adalah wajah baru dari teologi al-Ma’un yang diprakarsai oleh Ahmad Dahlan. Teologi tersebut terakumulasi pada isu isu yang lebih luas dan melibatkan hubungan dengan pihak lain dalam rangka untuk mencapai strategi praksisnya. Asumsi dasar dari teologi ini adalah bahwa praktik ibadah harus langsung terkait dengan masalah sosial, dengan landasan tauhid yang memanifestasikan dirinya ke dalam wilayah praksis. Hal ini akhirnya mengarah pada kata-kata kunci, seperti “kesatuan sosial” dan “ritual sosial” yang kemudian dikembangkan dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan kontemporer di Indonesia. Lebih lanjut, epistemologi pada teologi Mustad’afin utamanya berasal dari: (1) ideologi Wahhabi-Salafi Rasyid Ridha, (2) pemikiran reformasi pendidikan Muhammad Abduh, dan (3) teologi al-Ma’un dari Ahmad Dahlan. Ketiga epistemologi dasar ini dilengkapi dengan adaptasi yang signifikan terhadap tujuh faktor, agar dapat diterima sebagai gerakan teologi pembebas di Indonesia. Akhirnya disimpulkan, bahwa kinerja Teologi Mustad’afin adalah teologi yang melakukan pertahanan sosial untuk kondisi berikut: (1) penindasan iman, (2) retardasi, (3) penderitaan ekonomi dan status sosial, (4) keterpurukan moral, serta (5) ancaman teologi dan ancaman bagi persatuan Indonesia[2].
KH.Ahmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah suatu saat berkata pada murid-muridnya, “ aku mengerti barang haq dan yang bathil seperti aku mengerti agama Nasrani/Kristen dan belajar agama Nasrani dan mengerti agama Nasrani, tetapi aku tidak mengerjakan agama Nasrani, aku bukan orang Nasrani. Demikian juga aku mengerti cara-cara mencuri, menipu, menindas, tetapi aku tidak menjalankan mencuri, menipu atau menindas, maka aku bukan pencuri, penipu atau penindas. Demikian pula agama islam, mengerti amal shalih, tetapi aku tidak mengerjakan agama islam dan amal shalih itu, aku tetap bukan orang islam dan tetap bukan orang shalih”.
Pendiri Muhammadiyah tersebut menilai bahwa praktik lebih penting dari pada hanya teori semata, namun tak menafikan teori, karena sebetulnya praktik yang dilakukan harus sesuai dengan teori yang dianutnya, begitu juga organisasi islam lainya yang ada di indonesia seperti Syarikat Islam, Al-Khairat, Al-Irsyad, Persatuan Islam Nadhatul Ulama, dan sebagainya mempunyai tujuan memajukan islam di Indonesia. Meskipun model gerakan dan pemikiran keagamaan mereka tidak sama, mereka mempunyai tujuan yang bersama, yaitu bagaimana umat islam bisa menjadi umat yang yang maju, pandai, dan bebas dari ketertindasan.
Selain ahmad dahlan di indonesia banyak sekali tokoh yang dengan gagah berani memperjuangkan kaum mustadafin baik yang berhaluan kanan maupun juga kiri. Salah satunya adalah Haji Misbach, dia adalah tokoh yang melawan kaum imperialis dengan menggunakan sentimen agama, dibawanya islam sebagai agama pemberontak tidak hanya memberontak dia mengajak petani untuk sadar atas kekuatannya, tak takut melawan aturan kolonial dan tak segan mengutuk kekayaan, baginya islam lahir untuk melawan kesewenang wenangan. Sebagai agama protes, Haji Misbach membawa keyakinan ini dalam sengketa mutakhir: kapitalisme pada tahun 1921. tahun dimana bisnis perdagangan berlangsung sadis, tanah petani di caplok untuk kepentingan usaha dagang. Dibawah keyakinan islam, Haji Misbach meluncurkan pesan pemberontakan. Rakyat tak harus takut dan rakyat jangan patuh. Dia menegaskan petani bukan kumpulan umat yang pasif. Diangkat harga dirinya dengan menolak penindasan Haji Misbach menyadarkan itu dengan organisasi. Satu organisasi yang tujuannya lugas, anggotanya jangan ditindas dan diperas darahnya oleh pihak lain. Maka pertanyaan merupakan pengajian dari Haji Misbach. Ungkapannya tak banyak diimbuhi ayat tetapi menukik kesadaran jamaah, “coba ingatlah, siapakah yang punya tanah ini? Tanah yang dulu punya pendahulu kita sendiri”. logika sederhana tapi indah itu membuat rakyat tergerak. Tanpa ragu Haji Misbach menyebut pemerintah itu pencuri. Julukan berani yang membuat dirinya diancam penjara. Lebih lebih suara Haji Misbach seperti gema yang menyentuh ribuan jamaah, diikuti bukan karena lucu, didengar tidak karena haru, tapi Haji Misbach hidupnya seperti khutbahnya[3].
Tokoh selanjutnya adalah Musso atau Paul Mussotle lahir pada tahun 1897, terlepas dari berbagai macam kontroversinya, Musso merupakan sosok pejuang pembebasan yang radikal. Dia dikenal berani dan pintar berbicara, bahasanya agitatif dan tegas, Soekarnopun sempat sempat kagum padanya. Dekat dengan Tjokroaminoto dan Tan Malaka. Ia bukan hanya sekedar pemberontak, tetapi juga seorang petualang, hidupnya diburu. Terutama saat PKI memberontak pertama kalinya pada 1926. ia tak tahan melihat taktik yang berbelit belit, baginya kolonialisme saatnya disudahi tapi bukan dengan perundingan. Tidak dengan perlawanan sporadis. Musso bertempur secara terbuka, sabotase dan pertempuran jalanan, bisa dibilang aksi Musso merupakan perbuatan yang nekat, diceritakan saat itu Tan Malaka yang juga sebagai tokoh penting PKI saat itu tidak setuju dengan aksi Musso, akan tetapi Musso tetap mengawali jalan progresif, kota akhirnya menjadi ajang pertempuran, Belanda akhirnya melihat sosok ini sangat berbahaya, hingga akhirnya pemberontakan itu menyebabkan PKI ditumpas dengan sadis. Sebagian di bunuh sebagian lagi di buang, setidaknya ada sekitar 1300 orang yang di buang saat itu. Tapi Musso dengan cerdik bisa lolos dan pergi ke Rusia, disanalah dia menemukan kiblat perjuangan, keyakinanya pada komunis semakin teguh. Hingga suatu saat diapulang dengan membawa badai revolusi. Begitulah sosok musso melawan imperialisme dan penjajahan dengan cara yang radikal dan dia melihat kemerdekaan bukan menjadi sesuatu yang bisa di tawar dan perundingan hanya akan membuat semuanya menjadi lebih rumit[4].



[1] Majalah Mata Hati edisi 2 april 2017 halm.8
[2]Sokhi Huda,Teologi Mustad’afin di Indonesia: Kajian atas Teologi Muhammadiyah
[3]Indoprogress.com/2015/12/andai-haji-misbach-mimpin-ormas-islam
[4]Indoprogress.com/2016/11/musso-pejuang-yang-radikal

Posting Komentar untuk "Islam dan Teologi Mustadafin, Imam Muchtar"