Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Puasa, Lebaran dan Cengkeraman Kapitalisme, Potret Memaknai Hakikat Ramadhan

Apabila kita mengamati dengan serius empat hal di atas maka kita tentu akan mengetahui benang merah antara keempat hal tersebut. Kaitan yang sangat erat inilah yang barang kali patut kita cermati agar kita mengetahui seperti apa yang kita lakukan dalam bulan puasa tersebut. dalam hal puasa ini tentu kita juga tahu apa yang harus kita lakukan di bulan mulia tersebut. sebagaimana dikatakan oleh Quraish Shihab, ramadhan dapat diibaratkan tanah yang subur yang siap ditaburi benih-benih kebaikan. Semua orang dipersilakan untuk menabur benih hingga saatnya nanti menuai hasil dari apa yang ditanamnya. Tentu ini semua tergantung seperti apa usaha kita dalam menaburkan benih tersebut, apakah dengan sungguh-sungguh ataupun biasa saja semua yang dapat mengukur adalah diri kita sendiri. Tetapi paling tidak telah ada usaha-usaha untuk melakukan ibadah semaksimal mungkin.

Selain kencang dalam meningkatkan kualitas ibadah secara vertikal tentu kita juga harus mempunyai sikap kepekaan ataupun kepedulian dengan para tetangga ataupun orang-orang yang membutuhkan. Inilah yang sebenarnya yang diharapkan dalam Islam, menyelaraskan amal ritual dan amal sosial, ataupun kita bisa meminjam istilah yang ngetrend ala gus Mus, yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kedua hal ini harus berjalan beriringan dan tidak boleh saling nyelip agar semua bisa berjalan seimbang. Ini semua juga tidak bisa lepas dari spirit al-Maun yang mengajarkan kita untuk berbuat demikian. Semisal ayat dalam surah tersebut yang menyatakan “Alloh melaknat orang yang shalat, tetapi mereka lalai. Mereka dinyatakan lalai itu ialah tidak tulus dalam menolong orang lain”. yang demikian ini tentu jelas patut untuk direnungkan agar kita tidak masuk dalam golongan orang yang mendustakan agama. Dalam sholat sendiri ada banyak pelajaran yang bisa dipetik, misal takbiratul ikhram yang selalu diakhiri dengan salam, sebagai tanda bahwa kita harus berbuat baik sesama. Pun demikian dengan puasa, yang selalu diakhiri dengan perintah untuk menunaikan zakat fitrah. Sebagai tanda keselarasan dalam amal ritual dan sosial. Zakat fitrah tersebut bisa dikatakan bentu pembelaan si kaya/ si punya terhadap kaum yang tertindas. Di satu sisi Islam pro dengan orang miskin, tapi di sisi lain Islam mengajarkan semangat untuk senantiasa memerangi kemiskinan.

Konsep yang demikian ini tidak akan ditemui diluar Islam, maka tentu kita juga mesti mensyukuri karunia dan kasih sayang yang diberikan oleh Alloh Swt., selain contoh di atas tentu masih banyak sekali perintah untuk melaksanakan ibadah secara beriringan ini. jika berbicara mengenai zakat sendiri sebetulnya potensi zakat di Indonesia sangat luar biasa jika digali secara serius baik dari yang lembaga negara ataupun lembaga zakat milik ormas ataupun swasta. Ini semua tentu menggembirakan jika melihat potensi tersebut kemudian digunakan untuk pemberdayaan ummat, baik itu digunakan untuk membangun sumber daya manusia ataupun pemberdayaan ekonomi umat secara langsung. Namun demikian yang patut dikritisi adalah masih banyak para aghniya’ yang belum menyadari bahwa zakat sangat berguna bagi keberlangsungan dan pemberdayaan kaum tertindas. Selain itu masih banyak pula sebagian aghniya’ yang enggan membayarkan zakatnya di lembaga-lembaga zakat sehingga mereka kadang kala membagikan sendiri zakat yang mereka berikan pada kaum lemah tersebut dan hal ini kadang-kadang menimbulkan ketidaknyamanan dari penerima zakat itu sendiri. Mulai dari berdesak-desakan hingga jatuhnya korban, tentu ini semua yang harus dibenahi agar pengelolaan zakat sepenuhnya diserahkan pada lembaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak dinginkan. Masalah ini sebetulnya bisa dipecahkan bersama agar mampu memaksimalkan potensi zakat agar benar-benar mampu mengangkat kaum tertindas dan memberdayakan ummat secara keseluruhan.

Masalah selanjutanya yang tak kalah penting adalah jelang akhir ramadhan, sebagian besar orang-orang sibuk untuk mempersiapkan lebaran, adapula yang mengencangkan sabuknya demi peningkatan kualitas ibadah, hal ini sebagaimana tuntunan yang diajarkan oleh Rosululloh Saw., yang memberikan nasihat untuk melakukan iktikaf guna menjemput malam lailatu qodar, biasanya kegiatan iktikaf ini dimulai ketika jelang 10 hari menjelang akhir ramadhan. Mereka yang ingin meningkatkan kualitas ibadah tentu akan mengurangi kegiatan yang dirasa kurang bermanfaat di 10 hari terakhir ini, karena di dalamnya terdapat kemuliaan yang sungguh luar biasa. Ini bisa kita lihat dari firman Alloh Swt., dalam surah al-Qodar 1-5 yang artinya. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur'an pada malam Qadar. Dan tahukan kamu, apakah malam Qadar itu? Itulah malam yang yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu para malaikat dan Malaikat Jibril turun dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.” Melihat redaksi dari surah tersebut kita bisa memetik pelajaran bahwa malam tersebut sangatlah mulia, ketika kita mendapatkan malam tersebut sungguh beruntunglah kita. Jika dihitung-hitung umur manusia saja jarang yang sampai 83 tahun, kalupun ada itu merupakan bonus dari Alloh Swt., malam tersebut memang tiada bandingannya dengan malam-malam lain, sehingga kita harus memaksimalkan dengan sebaik-baiknya.

Namun fakktanya tidak semua orang bisa demikian, inilah ironi yang sesungguhnya dimana malam yang sangat mulia tersebut terdapat konflik diametral dengan kepentingan sesaat manusia, kepentingan tersebut adalah memanjakan hasrat. Dalam budaya postmodern, sebagaimana dituturkan oleh Gilles Deleuze dan Felix Guattari, sepasang filosof asal Prancis mengandaikan sistem budaya Posmodernisme bagaikan mesin hasrat. Sebuah mesin yang terus memompa hasrat manusia untuk mencapai kenikmatan yang bersifat permukaan.Walau hanya menawarkan kenikmatan di permukaan, namun faktanya masyarakat malah terjebak dalam hal ini. Tentu hal yang semacam ini menjadikan manusia sebagai pusat, sehingga selalu disibukan dengan urusan pemenuhan kebutuhan tersebut. Budaya postmodern ini seolah sudah menafikan kehadiran yang Maha Kuasa, sehingga batas-batas senantiasa dirobohkan demi tercapainya hasrat tersebut. singkatnya pada saat yang demikian ini manusia telah menghilangkan unsur metafisikanya kemudian menggantinya dengan tubuh yang dijadikan pusat bagi diri.

Jika postmodern ini ditarik benang merah dengan tradisi di akhir ramadhan maka akan bermuara pada pertarungan antara kemenangan dengan predikat taqwa sebagaimana perintah puasa yang termaktub dalam al-baqoroh 183 tersebut—atau pragmatisme lebaranlah yang memenangkan pertandingan ini. Ukuran sederhana bisa kita lihat pada saat jelang lebaran, tentu kita semua sudah mahfum dengan yang namanya tradisi ini. dengan segala persiapan yang cukup menguras kantong dan juga tenaga mengakibatkan manusia melanggar batas-batas kenormalan. Hal ini memang cukup menjadi keprihatinan bersama, meskipun tujuannya adalah untuk memberikan hidangan terbaik pada tamu, namun realita yang terjadi juga tidak demikian. Saat akhir ramadhan betapa kita jumpai jutaan manusia tumplek-blek dalam mal-mal, swalayan, pasar dan pusat perbelanjaan lainnya. Bukan itu saja, bank-bank juga dijubeli oleh manusia yang mengantri untuk melakukan transaksi keungan yang jumlahnya begitu menggiurkan. Siapa yang diuntungkan dalam hal ini, tentu saja pemilik modal. Memang masyarkat membutuhkan barang-barang yang ingin dicari namun demikian tanpa disadari banyak yang hanya sekedar membelanjakan uang mereka tanpa mengenal batas. Padahal di sisi lain masih banyak jutaan orang yang sangat membutuhkan uluran tangan. Disadari atau tidak setiap ramadhan kita semua seolah tidak bisa berlepas diri dari cengkeraman kapitalis.

[caption id="attachment_1327" align="alignleft" width="250"] Ditulis oleh : Agus Supatma[/caption]

Di akhir ramadhan tentu masih bisa digunakan untuk memaksimalkan doa, agar kita mampu berjumpa lagi dengan puasa berikutnya. Tentu saja yang tak kalah penting adalah kita bisa menyandang predikat taqwa tersebut. Semestinya momentum puasa dan lebaran digunakan untuk menggerus budaya konsumtip yang masih saja tinggi, meskipun pada kenyataannya masih banyak orang yang belum bisa melakukan hal ini. Dalam lebaran tradisi baiknya adalah tradisi mudik yang memang hanya ada di Indonesia, ini menandakan bahwa masyarakat kita selain cinta pada kampung halaman serta saudara mereka. Kerekkatan yang semacam ini patut untuk dipertahankan. Yang patut kita camkan adalah menanamkan nilai-nilai puasa dalam diri kita, agar kita tidak terjebak dalam budaya yang tidak baik tersebut. semestinya puasa dan momen lebaran mampu membendung bahkan meluluhlanatahkan hasrat tersebut, serta menghancurkan pilar-pilar postmedern yang terus menggerogoti kita. Oleh karena itu demi terwujudnya tujuan puasa itu sendiri maka kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk membuang sifat buruk tersebut. meminjam istilah yang dilontarkan oleh salah seorang teman, “kita berpuasa sebulan penuh dilatih untuk menjadi zuhud Bukan menjadi rakus. Maka, zuhudlah sejak dalam fikiran”. Tentu saja sekali lagi semua ukuran dan keinginan dalam bulan mulia ini dikembalikan pada masing-masing pesonal, tetapi jika ingin menggapai yang sesungguhnya maka solusinya adalah menghidarkan dari hal-hal buruk alias tidak bermanfaat. Lantas siapakah yang akan memenangkan pertandingan ini, “kita yang memenangkan pertandingan dengan predikat sempurna, atau pragmatisme lebaranlah yang akan memenangkannya”, Allohu a’lam bishowab.

 

Posting Komentar untuk "Puasa, Lebaran dan Cengkeraman Kapitalisme, Potret Memaknai Hakikat Ramadhan"