Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Intelektual Bukan Hanya Duduk Dan Diam

Kata-kata intelektual menjadi sebuah keniscayaan, tampaknya kita tidak asing dengan istilah yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci seorang sosok Marxist yang menggetarkan peradaban keilmuan yang dinilai tidak berkontribusi terhadap perubahan sosial masyarakat.

Intelektual Bukan Hanya Duduk Dan Diam
Dalam perspektifnya, intelektual hanya menjadi budak penguasa, bahkan menjadi juru pembenar penguasa. Kelompok marginal seolah tidak menjadi cemeti untuk menggerakkan kemampuan intlektualnya membela dan memperjuangkan kaum tertindas agar bisa keluar dari jerat keterpurukan. Kegelisahan itulah yang menginspirasi Gramsci bahwa intelektualitas harus menjadi arus utama dalam gerakan sosial dan perubahan sosial. Intelektualitas tidak sekadar duduk diam di balik meja, mendesain perubahan tanpa terlibat langsung dengan kondisi nyata.

Intelektualitas sejatinya membangunkan mimpi-mimpi bagi masyarakat, menyadarkan akan hak dan martabatnya sebagai manusia yang memiliki kemerdekaan. Intelektualitas harus menjadi jangkar dan penyanggah masyarakat dalam mendapatkan hak-haknya, bukan justru menjadikan masyarakat miskin sebagai barang impor atau komoditi yang laris diperdagangkan. Dalam konteks itulah media warga menjadi doktrin perubahan sosial.

Arus perubahan yang mengalir deras menuju pori-pori masyarakat bahwa kemiskinan menjadi musuh kita semua. Desain media warga tidak sekedar menampilkan progres pemanfaatan BLM dan jumlah PS 2 yang merasa manfaatnya dari BLM. Lebih dari itu, media warga menjadi instrumen transformasi kesadaran. Media menjadi transformasi transendensi dan sensivitas sosial bahwa memperjuangkan warga miskin itu bukan sekedar kebutuhan project. Memperjuangkan warga miskin itu menjadi gerak teologi, dimana kasih sayang Tuhan akan mengalir kepada kita bersama. Posisi kita sebagai pelaku program menjadi medium perubahan sosial masyarakat.

Media efektif menyampaikan pesan dan nilai-nilai universal kepada masyarakat. Oleh karena itu, sebagai pelaku sejatinya tidak hanya semata-mata mencari pencaharian. Lebih dari itu, keberfungsian intelektual kita sebagai pelaku program sejatinya menjadi instrumen perubahan sosial masyarakat menjadi terasa keberadaanya bagi warga miskin. Posisi kita sebagai pelaku program jangan sampai terjebak dengan meminjam istilah Julian Benda, sebagai pengkhianat intelektualitas. Sosok intelektual yang tidak dan enggan memperjuangkan masyarakat lemah (mustad'afin), Intelektual yang hanya mengabdi dan mengekor terhadap penguasa.
Ditulis oleh : Adib Khusnul Rois, M.E.I

Posting Komentar untuk "Intelektual Bukan Hanya Duduk Dan Diam"