Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebebasan Menista Agama?, part 2


Adapun kasus penistaan agama ini sesungguhnya bukan hanya terjadi kali ini saja, akan tetapi memang sudah berlangsung sejak zaman Nabi Saw hingga sekarang. Obyeknya juga beragam, mulai dari para tokoh beserta unsur-unsur agama itu sendiri. Bila saat ini ramai dengan kasus dugaan penistaan yang dilakukan oleh A hok ramai dan menimbulkan kemarahan umat Islam itu sangat wajar, apalagi ia seorang public figure yang semestinya memberikan contoh yang baik, tetapi realitas yang dilakukan tidak demikian, yang dilakukan oleh orang sekelas A hoks justru kontraproduktif dengan jabatan yang ia emban. Meski seringkali media selalu mencitrakan Ahok adalah orang baik, tapi nyatanya juga tidak demikian, dan ini bisa dilihat dari pengusiran yang dilakukan oleh warganya sendiri. Apa yang dilakukan oleh dia sebenarnya teleh merusak keberagaman, serta tidak mampu mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Kebebasan menista agama part 1


Kita juga perlu marah karena ghirah kita, karena keimanan kita. Hal ini terjadi karena melecehkan sesuatu yang kita sucikan. Mungkin bukan hanya al-Qur’an, lambang bendera, tokoh—sekalipun akan mengundang reaksi besar-besaran ketika ada yang menistakan, dan lebih ekstrem lagi yang tidak demo akan dicap rendah jiwa patriotismenya dan lemah nasionalismenya. Semangat mendemo penista al-Qur’an merupakan bentuk ekspresi dari penyampaian pendapat yang telah disahkan dan diakui oleh undang-undang, kemudian tujuannya adalah agar membuat orang yang melakukan penistaan tersebut muncul jiwa toleran—bahwa yang dianggap suci orang Islam itu mereka hormati.
Marah yang dilakukan oleh umat Islam ini sesungguhnya pada level yang sangat wajar, sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun mengenai aksi yang demikian ini memang terjadi pro dan kontra, ada yang bisanya hanya menghukumi realitas tanpa melihat substansi yang sesungguhnya. Adapula yang kemudian mencibir sebuah aksi penyampaian pendapat melalui demo ini sebaiknya belajar yang lebih rajin lagi mengenai demokrasi. Ada yang berapologi dengan membawa Rasulullah Saw., “Rasul saja tak pernah marah ketika dihina dan diperlakukan apa saja”., yang demikian ini, sama halnya dengan menyamakan semua orang dengan Rasul, padahal konteks dari hal ini berbeda jauh. Sekelas Rasul Saw., yang Maksum kemudian disamakan dengan manusia biasa sangatlah tidak mungkin. Kita mengambil dari apa yang telah diajarkan oleh Rasul Saw., tersebut sesuai dengan kemampuan kita. Karena kebaikan ada pada diri Rasul Saw. Menyerahkan semua urusan pada Tuhan juga merupakan bentuk dari apologi, karena kita telah diberikan akal untuk menentukan dan memilih baik dan buruk, memerangi kemungkaran dan lain sebagainya. Lagipula kita juga punya otoritas yang telah dipegang para alim-ulama yang berhak untuk menentukan kemutlakan suatu perkara. selanjutnya

Posting Komentar untuk "Kebebasan Menista Agama?, part 2"