Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kebebasan Menista Agama?, part1

agus-supatmaPernahkah kita membaca ulang mengenai kasus yang demikian ini, jika pernah membaca kapan terakhir kali mengetahui, membaca dan menganalisa—kemudian bagaimana tanggapan anda bila agama anda dihina?. Atau bila anda belum bangkit dan berteriakjuga, mungkin ke level yang lebih rendah lagi. Bagaimana perasaan anda ketika anda, Ibu, Istri, anak-anak dihina—apakah anda akan terhenyak kemudian berdiri dan kemudian melakukan pembelaan. Jika demikian masih sehatlah fikiran kita, masih punya rasa cemburu dalam diri kita—bahwa kehormatan merupakan hal yang utama. Bila di level yang paling rendah ini kemudian tidak merasakan getaran sama sekali dan pasrah terhadap keadaan, kemudian berapologi, “saya menyerahkan semua ini pada yang Kuasa, Dia-lah yang akan membalas semua ini”. oh malang nian jika kita termasuk yang semacam ini. Hal yang semacam ini perlu kita tanyakan pada diri kita masing-masing, agar kita tetap bisa menjaga ghirah, martabat dan juga harga diri.
Disadari atau tidak, sesungguhnya masalah ini berakar pada Sekulerisme—penghinaan terhadap Alloh Swt., Al-Qur’an, Nabi Muhammad Saw., atau simbol-simbol Islam lainnya bisa terjadi karena dua faktor. Pertama: Faktor kebodohan—ketidaktahuan perbuatan merupakan penghinaan atau ketidaktahuan karena kemuliaan yang dihina, bisa juga mengejar materi yang tak seberapa dengan mengorbankan kehidupan. Kedua: Faktor kedengkian yang telah mendominasi fikiran dan nurani yang berakibat pada kemuliaan hanya terlihat sebagai kehinaan dan kebenaran terlihat sebagai kejahatan. Dua faktor ini tidak muncul jika tidak ditopang oleh sekulerisme itu sendiri, meskipun kita ketahui asas yang dianut bukan negara sekuler dan bukan negara agama. Posisi inilah yang kemudian sering kali disalah pahami oleh sebagian orang yang kemudian seolah anti agama dan seperti terkesan lebih dominan sekulernya.
Namun demikian kita mempunyai Pancasila—yang kata Pak Kuntowijoyo merupakan obyektivitasi Islam. Dinyatakan beliau bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka, artinya sanggung menyerap unsur-unsur luar, yang terbuka adalah ilmu. Andaikata Islam mengubah pendekatan dari ideologi ke ilmu, maka pertemuan antara Islam dan Pancasila merupakan pertemuan ilmiah, terbuka, rasional, dan obyektif. Tidak ada satupaun sila-sila dalam pancasila yang bertentangan dengan Islam. Pancasila harus dimasyarakatkan sebagai rujukan bersama semua golongan, ras, suku, kelompok kepentingan. Semuanya perlu melihat Pancasila sebagai suatu obyektivikasi ajaran agama dan juga sebagai rujukan bersama.
Sekulerisme menyebabkan berkembangnya kebodohan juga pengabaian manusia terhadap agamanya, tak tahu hak-hak Tuhan, Nabi, simbol-simbolnya dan hak manusia yang lainnya. Sekulerisme juga menumbuhkan paham-paham dan perilaku nyeleneh dengan mengatasnamakan toleransi, pluralisme dan liberalisme. Dari sinilah kemudian muncul kebebasan, entah itu kebebasan berbicara dan berpendapat kemudian ditarik lagi pada kebebasan berekpresi. Kalau sudah seperti ini sesungguh telah menjadi bola api yang liar yang siap dilemparkan pada siapa saja. Padahal jikalu kita melihat secara jernah, setiap kebebasan tersebut selalu dibatasi dengan kebebasan yang lainnya. Semestinya semua orang sadar sejak awal dengan batas-batas ini, sebesar apapun hak kebebasan, ia akan dibatasi oleh kebebasan orang lain. kebebasan ini juga tidak boleh menghina, merendahkan , melecehkan, menyudutkan ras, agama, dan kepercayaan lain. juga tidak boleh merusak kehormatan dan melukai orang lain. selanjutnya

Posting Komentar untuk "Kebebasan Menista Agama?, part1"