Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Syuhada Sembako Dan Pelanggaran Pasal 34 UUD 1945

Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita gugurnya dua orang anak tak berdosa, yang masih polos, yang berjuang menemani ibunya untuk mendapatkan paket sembako. Paket sembako tersebut bagi fakir miskin sangat berarti, maka butuh perjuangan untuk mendapatkannya. 

Sesungguhnya dibalik beberapa kupon yang diterimanya,  hati kecil mereka menangis dan menjerit, tapi mereka tak peduli. Mereka tetap berangkat berjuang menukarkan kupon yang telah diterimanya dengan paket sembako yang ada di Monas. 

Ternyata untuk bisa menukarkan kupon dengan paket semako tersebut harus  melalui sebuah perjuangan yang sangat luar biasa dan  melelahkan. Mereka harus berhimpit-himpitan, dan bahkan saling injak. Karena jikalau tidak diperjuangkan, mana mungkin  kupon bisa dimakan atau  dimasak,  

Saya nggak bisa bayangkan, andaikata yang berebut sembako itu  para wakil rakyat atau para bupati, gubernur, menteri dst. Betapa indah dan heroiknya. Apalagi sembako ceceran BLBI, CENTURY, E.KTP, inprakstruktur, HPH, dan sejenisnya. Pasti super ramai  dan juga saling injak.   

Oleh karena yang dibagikan tersebut paket sembako untuk orang miskin, yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin,  maka perebutannya tidak indah dan tidak heroik.

Untuk menukarkan kupon sembako tersebut,  kaum dhuafa  tersebut  harus berjuang keras, berjemur di bawah terik matahari,  bermandikan keringat, dan mempertaruhkan kehormatan dan nyawanya. Tentunya sambil merenungkan  rumusan pasal 34 UUD 1945, yang selama ini banyak ditelantarkan oleh pemerintah dan sering hanya ditafsirkan dengan bagi-bagi paket sembako. 

Pada hal seharusnya, rumusan pasal 34 UUD 1945 tersebut tidak boleh hanya ditafsirkan dengan  cara bagi-bagi sembako, sepedah ontel. Apalagi kalau bagi-baginya dengan cara dilempar dari mobil, itu menyakiti hati nurani mereka. Seharusnya yang  dibagi-bagi adalah lapangan kerja yang layak untuk  kemanusian, atau paket jaminan sosial kemanusiaan yang lain.   

Karena sesungguhnya paket sembako   tersebut tidak  mampu untuk merubah nasibnya orang-orang fakir miskin yang cenderung  terpinggirkan dan terancam digusur. 

Yang lebih tragis dan memilukan lagi, perjuangan untuk menukarkan kupon tersebut harus mempertaruhkan harkat, martabat dan kehormatannya sebagai anak bangsa yang pernah belajar memahami  sila 2 dan ke 5  PANCASILA, serta redaksional  pasal 34 UUD 1945.

Oleh karena itu tidak berlebihan, jikalau  peristiwa bagi -bagi paket sembako di sekitar tugu monas beberapa hari yang lalu, merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat tragis, memalukan dan tidak boleh terulang. 

Dari peristiwa  yang  sangat memilukan tersebut, diharapkan dapat dijadikan ibrah bagi penguasa untuk segera menterjemahkan pasal 34 UUD 1945 melalui kebijakan publik yang  nyata-nyata berpihak kepada kaum papa, kaum dhuafa, kaum fakir miskin, atau kaum fukara masakin. 

Jangan sampai terulang,  anak usia sekolah dasar harus gugur di medan jihad,  membantu meringankan penderitaan ibunya yang  baru saja  ditinggalkan oleh suami untuk selama-lamanya, hanya demi sembako yang tidak bisa merubah nasib..

Sungguh peristiwa ini sangat mengharukan,  sudah miskin, ditinggal suami, anak-anaknya belum dewasa ,  masih tinggal dirumah kontrakan yang sangat sederhana.  Ada pemberian paket  sembako saja  masih dalam bentuk kupon, kupon dan kupon.  Dan untuk memperolehnya harus bermandikan keringat dan bertaruh nyawa. Itu namanya bukan pemberian lagi, melainkan upah. 

Andaikata mereka tidak terpaksa atau sangat miskin,  pasti tidak akan diambil. Coba para wakil rakyat, bupati, gubernur, menteri  dst,  dikasih kupon sembako, pasti malu dan tidak  akan  diambil. 

Untung ibu Qomariyah masih bisa membayar rumah kontrakan yang sangat sederhana, mereka tidak tergusur seperti nasib ribuan kaum teraniaya yang lain. Mungkin masih banyak lagi yang nasibnya lebih tragis. Sebagaimana telah dikemukakan Gubernur DKI, Anies Baswedan  di berbagai forum dan kesempatan.  Tetapi tidak banyak pejabat tinggi negara yang tahu. 

Andaikata tahu,  mereka mungkin pura-pura tidak tahu. Jikalau mereka tahu , cukup dikasih resep : " kalau beras mahal silakan diet, kalau cabe mahal silakan tanam cabe sendiri, atau cari cacing, kolojengking dst. 

Pada hal mereka, kaum fakir miskin, setiap hari sudah" diet ", berbeda dengan mereka. Mereka para petinggi negara  "DIET " karena kebutuhan, sedangkan fakir " DIET" karena tidak ada yang dimakan atau agar bisa makan siang dan makan sore.  

Timbul pertanyaan, mengapa negeri yang  kaya raya, subur makmur,  loh jinawi tersebut  rakyatnya banyak yang miskin, pemerintahnya tidak tahu. Bukan karena tidak tahu.  Melainkan sebagian besar penguasanya, kerjanya hanya menunggu laporan atau sibuk memperebutkan piala  citra di semua level.

Mereka  hanya  berpikir untuk  lima tahun berikutnya. Sambil menghitung pundi-pundi uang yang sudah dikumpulkan dan dikoleksinya.  Sehingga para petingginya, menjadi cepat lupa, cepat pikun, dan sering lupa dengan rakyatnya.  

Seharusnya  dengan kursi, fasilitas, dan kekuasaan yang ada ditanganya,  mereka bisa berbuat banyak untuk rakyatnya. Tetapi kekuasaan yang ada di tangannya, tidak pernah dipergunakan untuk menjawab substansi kebutuhan rakyatnya, melalui kebijakan publik yang diambilnya. 

Sebagian besar dari mereka hanya berpikir untuk kelompoknya. Bahkan tidak jarang  minta  upeti dan amplop tebal. Ada amplop yang mereknya apel Amerika atau apel Malang. Kemudian  lima tahun sekali  bagi-bagi amplop tipis, tak berarti, tapi diciumi. Itupun rakyatnya tidak tahu kalau dalam amplop tersebut isinya adalah uang hasil nyolong atau korupsi.

Yang menyedihkan, setelah bagi-bagi paket sembako tersebut memakan korban  2 (dua) orang bocah yang masih polos, yang belum mengenal hiruk pikuknya pencitraan sang tokoh. Semua bersilat lidah. Saling lempar tanggungjawab, saling tuding dan saling menyalahkan. Tidak jarang dibumbui dengan  fitnah atas nama Pancasila, NKRI dan Kebhinekaan.   

Mereka terus berusaha  menutup-nutupi, dengan berbagai dalih dan isu-isu yang kadang diciptakan sendiri. 

Mereka yang seharusnya hadir dengan solusi yang jelas, bukan  bertengkar di depan publik, atau  menjadi bagian dari persoalan bangsa. Misalnya sibuk kesana kemari mengamankan hasil korupsinya. Sibuk memoles diri untuk mendapatkan piala citra yang penuh manipulatif. Kalau perlu  adu kasekten di atas panggung politik dan keadilan,  untuk  mempertahankan dan atau merebut kekuasaan.

Akibatnya peristiwa  gugurnya bocah-bocah yang masih polos dimedan jihad berebut sembako,  yang semata-mata ingin membantu meringankan penderitaan ibunya tersebut,   menjadi  ajang pencitraan, tanpa solusi.

Kalau mereka  ikhlas untuk  hidup berbagi, seharusnya paket sembako tersebut diserahkan langsung secara diam-diam, atau dipercayakan kepada takmir atau ketua RT/RW setempat. Akan lebih terhormat , aman dan bernilai ibadah.

Karena paket sembako tersebut penuh aroma politik, maka penyerahanya harus disorot oleh kamera TV dan dipamerkan kepada masyarakat luas. Untuk itu maka dipilihlah monas sebagai tempatnya. Sementara untuk harinya diambil hari yang bertepatan dengan  CFD, sehingga gaungnya seantero negeri. Itu namanya tidak ikhlas dan penuh kemunafikan.

Mengapa penuh kemunafikan, karena yang seharusnya paket sembako tersebut bisa diserahkan langsung, tetapi harus diambil di monas. Sehingga untuk dapat paket sembako, para penerima kupon harus bersusah payah. Salah satunya adalah keluarga  ibu Qomariyah, ibunda Muhammad Risqi. 

Keluarga ibu Qomariyah terpaksa berangkat bersama Muhammad Risqi dengan diantar  oleh kakaknya menuju Monas. Mereka  bertiga dengan berbekal 3 kupon sembako berangkat dari rumah  dengan senyum yang mengembang, meski hati kecil mereka tidak nyaman. 

Pagi itu mereka berangkat dengan  diet, memenuhi himbauan Menko Kesra.  Mereka tidak membayangkan sama sekali kalau paket sembako tersebut akan mengantarkan akhir perjalanan hidup Muhammad Risqi yang dicintainya.

Sungguh mengharukan dan  memilukan. Mengapa nasib kaum miskin selalu hanya dijadikan retorika dan ritual politik lima tahunan. Setelah itu ditinggalkan, dipinggirkan, digusur, dan kalau perlu kemiskinannya setengah dilestarikan.  

Yaa Allah, Yaa Rabb, andaikata anak-anak tersebut  sudah menanggung dosa, ampunilah dosa-dosa dan kesalahan ananda M.Riski dan ananda Mahesa, jadikan mereka mati di jalan Allah. Selanjutnya kepada yang ditinggalkan karuniailah  pengganti yang lebih baik. Dan semoga para  pengelola republik ini berhenti berebut piala citra, menjadi pengelola negara yang ikhlas, jujur, adil  dan berjuang untuk mengangkat derajat hidup rakyatnya. Berkomitmen dan beristiqomah menjalankan konstitusi atau UUD 1945, khususnya pasal 34. 

Akhirnya  selamat berjuang demi tegaknya NKRI yang adil, sejahtera dan bermartabat.

Ponorogo, 9 .Mei 2018
Institute Transparansi Birokrasi dan Peradilan
( Suparno M Jamin )

Posting Komentar untuk "Syuhada Sembako Dan Pelanggaran Pasal 34 UUD 1945"