Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan di Garis Tengah, Fera Nikmasari

Mendengar kata perempuan rasanya tak bisa jauh dari kata sebaik-baik perhiasan dunia dan seburuk-buruk fitnah dunia. Ya. . .begitulah persepsi kebanyakan orang. Jarang seseorang mengutip sedikit saja makna dari Perempuan yang di Garis Tengah. Oke. . . sebelum beralih ke bahasan Perempuan di Garis Tengah kita pemanasan dulu membahas tentang perempuan yang tergolong sebaik-baik perhiasan dunia dan seburuk-buruk fitnah dunia.
Perempuan di Garis Tengah

Perempuan sebaik-baik perhiasan dunia, tak perlu banyak lagi untuk saya jabarkan dengan istilah tersebut, tentunya kalian sudah paham bahkan lebih paham, apa itu ? Yaa. . . istilah tersebut artinya “perempuan Sholihah”. Setiap perempuan pasti menginginkan menjadi perempuan sholihah yang sempurna akan adab,ilmu dan tutur katanya. Namun, bagaimanakah persepsi kebanyakan orang tentang perempuan sholihah? Yaa. . . perempuan sholihah lebih dikenal dengan adabnya yang baik, tutur katanya yang santun dan tindak tanduknya yang sopan. Selain itu perempuan sholihah lebih dikenal dengan pandainya ilmu agama, 70% ada dirumah dan 30% untuk kegiatan luar.banyak yang beranggapan perempuan sholihah adalah perempuan yang bisa menjaga dirinya dari pergaulan bebas. 

Beralih ke perempuan yang dikata seburuk-buruk fitnah dunia, Istilah ini lebih sering dengan sebutan “badgirl” dalam bahasa trend atau kekinian. Badgirl biasanya cenderung ke masalah moral dan penampilan. Masalah penampilan sering kali dijadikan tolok ukur untuk tingkat ke sholihahan dan bahkan bisa saja masalah penampilan yang kurang baik atau sopan langsung didoktrin dengan istilah “badgirl”.

Setelah membaca dari kedua istilah tadi kini saatnya membahas kemasalah inti yang sesuai dengan judul yang telah saya tuliskan diatas,yaitu “Perempuan di Garis Tengah”.Apasih itu makna istilah itu? Sebenarnya istilah tersebut hanya berasal dari bahasa saya sendiri untuk sebuah sebutan. Jadi yang yang akan saya bahas disini adalah para perempuan aktifis muda yang tangguh,bisa juga diartikan sebagai peempuan yang in syaa Allah berpenampilan syar’i namun sebagai aktifis yang tentunya jarang dirumah. Dari hal tersebutlah saya mencestuskan istilah “Perempuan di Garis Tengah”, karena mereka di posisi tengah-tengah atau syar’i namun sebagai aktifis. Mendengar kata aktifis pastinya ada saja kegiatan yang dilakukan, baik kegiatan kampus, Organisasi Mahasiswa, Komunitas, Lemabaga dan masih banyak lainnya.

Seperti yang kita ketahui menimba ilmu tak hanya di dalam kelas saja bukan ? tapi mencari ilmu dan pengalaman di organisasi juga butuh bahkan penting. Namun ketika seorang perempuan sering keluar dan jarang pulang selalu ada saja yang mengecap negative atau buruk dimata masyarakat. Bahkan ada juga yang beranggapan perempuan yang suka kelayapan. Hal seperti ini pastinya tidak hanya dialami oleh sedikit perempuan, namun banyak juga aktifiis perempuan yang mengalami hal serupa. Padahal tujuan para aktifis adalah positif bahkan mayoritas aktifis menjadikan organisasi sebagai ladang dakwahnya, sungguh tujuan yang mulia bukan ?

Baiklah untuk mengupas masalah tersebut mari kita simak dari tanggapan beberapa aktifis muda berikut yang juga mengalami hal tersebut, yang pertama adalah “Tri Silvi Santa Hongki” seorang aktifis muda yang sekarang masih menimba ilmu IAIN Ponorogo. Dia seorang Guru Tahfidz di MTs Muh 2 Jenangan dan Darul Qur’an Jenangan, juga sebagai Murobbi Rohis Al-Kahfi di SMA Muh 1 Ponorogo, selain itu dia juga sebagai mahasiswa yang aktif diberbagai Organisasi Mahasiswa salah satu contohnya adalah IMM.

Dengan kegiatan yang begitu banyak, pastinya dia juga menghabiskan waktunya 80% di luar rumah, berikut pendapat darinya tentang perempuan aktifis atau perempuan di garis tengah

“Sebenarnya yang dimaksud menjadi perempuan sholihah itu kembali kepada diri masing-masing, ia ingin menjdi seorang muslimah yang bagaimana? Menutup diri lalu fokus hafalan atau langsung berkiprah keluar dalam dunia dakwah atau bahkan menyibukkan diri dengan mencari ilmu/kajian aktif dan silahturahim? Jadi semua tergantung pada subjek yang menilai bisa dikatakan tergantung sudut pandang masing-masing. Beralih kepermasalahan perempuan aktifis sebenarnya itu tidak ada salahnya, karena derajat perempuan itu tidak lebih rendah dari laki-laki, dalam artian derajatnya sama-sama tingginya. Jadi hak perempuan untuk berkiprah kedunia luar juga sama bukan? Dan bukankah organisasi itu juga bisa dijadikan sebagai ladang dakwah kita? Nah. . .jadi begitu menurut pandangan saya, asalkan perempuan masih bisa menjaga martabat dirinya masih menjaga fitrah dan izzahnya sebagai sebaik-baik perhiasan dunia” 

Setelah membaca dari pendapat tersebut mungkin sedikit sudah memiliki gambaran atau sudut pandang masing-masing tentang perempuan yang aktifis.

Ada satu lagi ulasan pendapat dari sosok perempuan yang tangguh juga dalam organisasi, berikut ini tanggapannya;

“yaa. . . jadi perempuan itu harus cerdas, tak hanya cerdas dalam ilmu namun juga cerdas dalam tindakan, organisasi dan dalam dunia luar, karena perempuan adalah calon ibu dan ibu adalah madrasah pertama untuk anaknya. Untuk masalah perempuan yang aktifis bukan berarti dia tidak ingin menjadi sholihah, namun juga tidak harus berdiam diri terus di rumah, terkadang seseorang memiliki persepsi perempuan lebih baik di rumah karena suara perempuan adalah aurat. Memang suara perempuan adalah aurat namun yang dimaksut aurat tersebut ialah ketika suara perempuan bisa mengundang syahwat kaum laki-laki seperti suara yang manja dan mendayu-dayu. Dan satu lagi bersangkutan dengan wanita karir sebenarnya itu tidak ada larangan selama tidak melalaikan kodratnya sebagai ibu dan bisa kembali lagi kepada diri masing-masin. jika suami mengizinkan maka tak ada halangan untuk berkarya atau bahkan berdakwah namun jika suami tidak mengizinkan maka kita kembali menjadi ibu seutuhnya di rumah.” 

Nah. . . itu tadi uraian pendapat dari “Ferina Widyawati” yaitu aktifis pemuda yang sekarang menjabat sebagai Ketua Umum IPM Cabang Ponorogo Kota dan juga masih menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Ponorogo dan pastinya juga sebagai aktifis di Organisasi Mahasiswa (Ormawa), salah satu contohnya adalah HMPS PGMI.

Sebenarnya masih banyak uraian dan pendapat dari beberapa aktifis perempuan, namun jika diambil kesimpulan semua jawaban mereka 85-90% sama. Dari sini saya akan menambahkan sedikit, jadi perempuan yang aktif di organisasi itu sah-sah saja asalkan tidak melupakan fitrah dan izzah dia sebagai layaknya muslimah, dan bisa saja perempuan yang aktif di luar sebenarnya bukan tidak mau di rumah bukan pula melupakan kodratnya, namun itu sebagai bekal dia mencari ilmu sebanyak-banyaknya agar dia nanti benar-benar siap untuk menetap menjadi ibu yang terbaik dalam rumah tangga.

Menyikapi dari pandangan negative dari beberapa pihak disini saya akan memberikan beberapa solusi agar tidak menimbulkan fitnah dan prasangka buruk;
1. Pastikan selalu berpakaian rapi sebagaimana mestinya dan tidak berpakaian tidak senronok dimanapun, apalagi di lingkungan masyarakat.
2. Bersikap sopan dan ramah untuk menyapa di lingkup masyarakat.
3. Usahakan selalu memakai atribut organisasi ketika ada agenda dan di pakai juga saat berangkat dan pulang dari agenda organisasi agar tidak menimbulkan fitnah.
4. Ikut aktif dalam kegiatan masyarakat seperti Karang Taruna atau Pemuda Desa, kalaupun tidak bisa aktif paling tidak pernah terlibat dalam kegiatan masyarakat.
5. Tidak bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di dalam masyarakat.
6. Siap sedia jika sewaktu-waktu mendapat kepercayaan dari lingkungan setempat.
7. Tingkatkan kualitas dalam bersosialisasi.

Hingga akhirnya telah sampai di penghujung tulisan yang membahas tentang perempuan di garis tengah, mulai dari pengertian,tanggapan dari berbagai pihak dan beberapa masukan. Kesalahan atau mungkin adanya perbedaan pandangan dari masalah yang saya kaji ini mungkin telah menjadi hal yang sangat wajar karena masih kurangnya ilmu saya. Namun, semoga dari bahasan tersebut dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan saya sendiri khususnya. Aamiin Terimakaih. . .

Artikel ini ditulis oleh Fera Nikmasari, mahasiswa PGMI / Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Posting Komentar untuk "Perempuan di Garis Tengah, Fera Nikmasari"