Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pilpres Dan Keberlangsungan Hidup Kita. Oleh: Agus Supatma

Barangkali tidak sedikit dari kita yang ikut-ikutan gaduh lantaran termakan isu yang sebetulnya amat sangat tidak penting. Ini tidak sekedar cebong dan Kampret yang menggerus nalar kemanusiaan. Isu macam ini sebetulnya hampir berseliweran tiap hari di lini masa. Masing-masing timses berhasil mengemas isu murahan tersebut hingga menjadi bahan menggunjing, saling serang, agar junjungannya lepas dari celaan. Selain itu, ini juga merupakan kecerdasan dari timses paslon itu sendiri—sehingga fans fanatiknya benar-benar mempercayai apa yang dikatakannya. Isu murahan macam itu diproduksi dan direproduksi tiap hari, hilang isu tumbuh lagi, muncul lagi dan seterusnya. Barangkali satu hal yang dilupakan para timses yakni sifat lupa dari Manusia itu sendiri. Sehingga berapapun hebatnya membuat isu—satu dua hari akan hilang sendirinya. Kalau tidak percaya, silakan amati  sendiri—pasti ada sifat lalen dan manutan.
Suatu ketika ada salah satu kawan saya bercerita pada saya tentang kekhawatirannya jika salah satu paslon menjadi pemimpin negeri ini. Mulai dari keberadaan PKI, serbuan TKA, pelarangan simbol-simbol agama di ruang publik, Negara Bubar, Pengahapusan mata pelajaran, Kemenag dibubarkan, dan lain sebagainya. Nampaknya ia sudah kadung cinta mati dengan salah satu capres hingga ia lupa substansi dari pemilu itu sendiri—yang dalam bahasa anak muda, “kalau sudah cinta tai kucing rasa coklat”. Satu lagi kawan saya pendukung calon lain juga sama halnya. Ia mempercayai jikalau yang menjadi pemimpin negeri ini  si doi, maka HTI, Kaum radikal, teroris akan menguasai pemerintahan, sehingga negera ini berubah bentuk dari demokrasi menuju Khilafah. Jadilah negeri antah berantah. Karena sekalilagi demokrasi ialah thagut…., maka harus diperangi. Slogan ini sebagaimana yang senantiasa didengungkan oleh Ismail Yustanto beserta ukhti-ukhti yang cantik nan menawan itu—yang kemudian ditiru anak-anak muda dari nganu. 

Saya menduga bahwa kawan yang pertama bisa berfikiran macam itu lantaran ia merupakan santri kultural dari salah satu partai dakwah. Sementara yang kedua kader dari salah satu ormas, yang tentu saja senior-senior mereka juga sudah mendukung salah satu paslon dan mendapat berkat. Maka jawaban saya ya normatip saja, sembari menyenangkan kawan saya itu. Karena dalam pikiran saya, bahwa menyenangkan orang lain itu berpahala. Itu semua saya lakukan karena kalau sudah cinta mati, dinasehati sampai ndoweh sekalipun tidak akan mempan. Oh iya ada yang terlupa, menurut Made Supriatma, hoax Pilpres dipercaya karena mengolah rasa takut Masyrakat. Oleh karena itu hoax juga diproduksi dan direproduksi setiap hari agar masyarakat tercabik-cabik akibat perbedaan pilihan tersebut. 

Sayangnya tidak hanya politisi yang ribut, orang-orang kecil yang ikut-ikutan debat sampah itu. Dari kalangan cerdik pandai tak kalah heboh. Tuan-puan semua tentu melihat para intelektual (gadungan) saling berlomba-lomba untuk deklarasi-deklarasian, dukung sana-sini. Padahal mereka kalangan terdidik loo. Orang yang mestinya bertanggung jawab memeberikan pendidikan politik pada Masyarakat justru mengkotakkan diri dalam proses lotre. Kalau sudah begini siapa lagi yang bakal jadi panutan kita. Tak lain deklarasi murahan ala alumni-alumnian itu supaya mereka kecipratan berkat apabila junjungannya jadi pemimpin. Kalau tidak jadi ya menjilat agar dapat berkat. Belum lagi yang saling tolak-menolak antar partisan capres.

Mungkin ada hal yang memang benar-benar dilupakan oleh orang-orang macam itu, bahwa kontestasi Pilpres ini bukanlah akhir dari segalanya. Para pendukung setia yang kekhawatirannya ditambahi oleh para buzzer, netijen bayaran atau influencer—ketakutanya makin menggila manakala sang idola sampai kalah. Dalam pikirannya mungkin juga terbayang, jika yang menjadi Presiden si A maka tamatlah hidupnya. Maka dalam perdebatan muncullah istilah-istilah ekstrim dengan ditambahi dalil-dalil sebagai justifikasi. Padahal kita semua tahu kalau capres yang maju di tahun ini merupakan orang Muslim, terlepas dari bagaimana peribadatannya—itu merupakan urusan pribadi. Toh buat apa kita bertengkar dengan saudara sendiri hanya karena copras-capres ini, padahal jika keduanya berkuasa belum tentu mempunyai komitmen untuk mengatur hajat hidup orang banyak, apalagi sampai menepati janji-janjinya.

Mustinya urusan lima tahunan ini disikapi dengan wajar dan tidak berlebihan. Karena bagaimanapun sikap berlebihan bukanlah sikap yang tepat. Dalam agama kita juga diajarkan agar tidak berlebih-lebihan baik dalam bersikap ataupun bertindak, selain tidak mendapatkan kebaikan—sikap berlebihan juga buruk di mata orang lain. Oleh karena itu dalam hal pemilu marilah kita sikapi biasa saja. karena pemilu bukan segala-galanya, bukan pula yang akan mengancam keberlangsungan hidup kita apalagi menjamin kita. 

Percayalah, di balik pertikaian antar pendukung paslon--mereka ini berebut kekuasaan untuk bisnis yang menjijikkan dengan cara mengadu domba sesama anak bangsa dengan isu agama dan keagamaan yang sangat murahan. Disinilah tatanan agama yang justru dibikin bubrah. Agama yang mustinya digunakan untuk berbuat kebaikan dan membawa berkah, justru digunakan untuk memperkuat pendapat dalam mencaci pihak yang tidak disenangi. Yang harus dipikirkan bersama ialah bagaimana masyarakat mendapatkan pendidikan politik yang baik—sehingga masyarakat betul-betul memilih wakilnya yang memang peduli dengan nasibnya.

Sekarang serba terbalik—hampir semua orang mengganggap bahwa pilpres adalah segala-galanya, padahal semuanya hanya abstrak, yang riil hanya bangsa serta manusianya. Negara dan presiden sekalipun datang dan pergi. Para paslon dipilih untuk kemudian dipuja-puji bila perlu disembah dan dijilati—yang mengkritik akan dihabisi. Dimana nalarnya cobaa. Padahal pemilu legislatatif lebih penting dari pilpres, karena masyarakat butuh legislator untuk merumuskan kebijakan dan mengawal kinerja eksekutif. Namun lagi-lagi mentok juga, karena caleg asal-asalan. Tidak ada hal berarti ketika para caleg mendaftar. Asal punya uang tak peduli mau tukang judi, Bandar, maklelar, preman, lonte dan lain sebagainya. Dan wajah begini-beginilah yang jadi.

Kapasitas kita memang hanya memilih yang sesuai dengan nurani kita. Rahasiakan pilihan, tidak perlu tunjuk hidung sana-sini, tak perlu membuli jika beda pilihan, ikut-ikutan mempermainkan isu ala timses. Apalgi bertengkar hanya gara-gara lotre lima tahunan itu. Lima tahun lagi pemilu lagi begitu seterusnya. Toh, pada akhirnya proses lima tahunan ini ya begini-begini saja. Kalaupun ada yang mau jihad total & perang total ya silakan saja, itukan cangkem para timses agar ditakuti lawan,  yang penting rakyat tidak ikut-ikutan.  Hidup kita juga begini-begini saja, tak perlu juga ada ketakutan berlebihan—hidup kita harus terus berlangsung bagimanapun kondisinya. Memang pemilu kali ini nampak pait, bukan karena siapa yang menjadi presiden. Tapi penghomatan terhadap kemanusiaan makin hilang. Ditengah kemusykilan marilah tetap bertahan menjadi manusia. Ahhh sudahlah, sesekali janganlah berpikir pilpres, maka dadamu akan lapang—kata Gus Mus.

Posting Komentar untuk "Pilpres Dan Keberlangsungan Hidup Kita. Oleh: Agus Supatma"